Selasa, 02 September 2014

CERPEN: Ketika Cinta Harus Dipendam


Assalamu'alaikum. Saya kambek lagi, tapi masih seperti biasa, tebar cerpen lama. Sebenarnya covernya udah pernah dipublish di TL. Dan sebenarnya cerpen ini aku kirim ke sebuah website, cuma, karena lamanya kabar, tak menentu aktif tidaknya jadi aku bagi saja di sini. Jadi nanti kalau ada yang menemukan judul, isi cerita, nama pemain, dan namaku (entah itu email, nama asli maupun nama pena) jangan anggap aku plagiat, karena itu masih namaku, okay?Dan maaf, kalau ceritanya yang masih kekanak-kanakan. Iya, belum aku edit. Masih polos. Dan ceritanya mungkin belum ngena ya, karena dulu bikinnya sebelum ngerasain yang namanya bangku kuliah..Seperti biasa juga, terimakasih bagi yang mau menyisihkan waktunya untuk membaca karya pemula ini. Apalagi yang mau me-like, komentar ataupun berbagi di TL kalian :) Semoga Allah membalas semua itu dengan kebaikan, aamin. Dan bagi yang tidak berkenan, saya tidak memaksa, silakan tekan tombol back :)Daripada cuap-cuap panjang lebar, cussss... Happy and enjoy reading ya ^^ 




cinta itu tak kuprediksi akan datang
namun menarik seluruh molekul rindu akan asa
seakan ada gaya oksidasi antara aku dengan dirinya
menghanyutkan rasa melewati lentisel kekaguman hingga menimbulkan vektor dirinya dan diriku
namun, tak mungkin ku stempel kepemilikan pesonanya
karna dia bukan milikku
dan aku bukan miliknya
kami adalah milik Robb yang Maha Memiliki
_Sept 13th 2012; 08.13 pm


Ketika Cinta Harus dipendam
oO0Oo


                Jilbab jingganya mengibar layaknya pusaka saat upacara bendera. Bergelut dengan angin yang juga menerpa wajahnya yang tengah memejamkan mata. Dirinya seakan menikmati permainan angin yang bahkan bisa menumbangkannya detik itu juga. Tubuhnya menahan kuat agar tetap berdiri di pasir pantai.
                Deburan ombak menghanyutkan indera pendengarannya yang entah mengapa membuat hatinya tentram seakan semua masalah yang dideranya lenyap, terangkat dan ikut menari bersama angin. Bibir tipisnya terangkat begitu saja menarik pipi tembab yang merona.
                Rasanya ia ingin menghentikan waktu. Cukup berhenti di sini. Cukup hanya seperti ini. Tapi sayang, ia bukanlah pemilik waktu. Ia tak berhak mengatur sesuka hatinya.
                Matanya mengerjap ketika saku gamisnya bergetar. Tangan kanannya dengan segera mengambil benda di dalamnya. Sorot matanya meredup ketika melihat nama yang terpampang di layar ponselnya.
                Ragu. Haruskah ia membiarkan benda itu bergetar hingga berhenti sendiri? Tidak. Nanti ia harus berbohong lagi. Beralasan bahwa ia inilah, itulah, bisa jadi sudah menggunung kebohongan-kebohongan kecilnya itu. Tapi, jika ia menyentuh layar hijau, ia harus mengontrol agar jantungnya tak sampai keluar dari rongganya.
                Ia memejamkan mata sejenak sebelum mengambil keputusannya. Lalu mengambil napas panjang seakan-akan kadar oksigen akan habis seketika. Tangan kirinya meremas gamisnya.
                “Assalamu’alaikum” lirihnya seperti angin yang menggelitik wajahnya. Detik itu juga ia merasa menelan bongkahan batu mendengar suara itu.
                “Wa’alaikumussalam, Tiara.” Suaranya. Suara yang entah kenapa terdengar nyaman di telinganya. Suaranya yang selalu dirindukannya. “Apakah kamu sudah menyiapkan proposal untuk kegiatan amal?”
                Lagi. Ia menarik napas panjang setelah menahannya sekian menit. “Sudah. Datanya ada pada Dila. Tinggal direkap saja,” cicitnya. Bahkan hanya untuk mengucapkan itu saja terasa seperti menahan ribuan ton beban dipunggungnya.
                “Ya sudah. Terimakasih. Assalamu’alaikum.” Sambungan terputus sebelum ia menyelesaikan menjawab salam darinya. Kekecewaan terbit dihatinya. Ingin sekali ia menahan perbincangan singkat itu dengan basa-basi. Tapi ia tahu, sosoknya pasti akan membalas apapun pertanyaan dengan singkat dan seperlunya. Tapi, itulah yang membuatnya tertarik untuk terus mendengar suaranya. Seperti ada sesuatu yang membuatnya selalu ingin mendengar suaranya, walaupun hanya jawaban salam darinya.
                Sosok itu. Sosok yang entah dari mana selalu membayanginya kemanapun dan kapanpun.  Seakan sudah menjadi hal wajib dalam hidupnya untuk sekedar melihat atau mendengar suaranya yang damai.
                Ia mengenalnya dua tahun yang lalu. Ketika itu, ia masih menjadi mahasiswi baru. Mereka bertemu di sebuah organisasi sosial dan keagamaan. Sosoknya yang dewasa terlihat dari caranya bertuturkata maupun ketika menghadapi masalah di dalam maupun di luar organisasi. Ia bijak dalam bersikap maupun dalam berkata.
Ia juga baik dan ramah kepada siapa saja, termasuk kepada gadis yang menyimpan rasa kepadanya ini. Apalagi ia juga rajin ibadah dan mempunyai cukup ilmu agama, dilihat saat menghentikan diskusi ketika mendengar kumandang adzan dan mengajak untuk sholat berjamaah, mengajar ngaji kepada anak-anak di masjid, juga lantunan ayat Al-Qur’an yang terdengar menenangkan setiap jiwa yang gelisah, seperti gadis ini.
                Lembayung jingga menoreh di cakrawala yang mengabu. Separuh benda kemerahan yang membias dalam lautan menyapanya dari lamunan. Ah, ternyata sudah lama ia berdiri di sini. Deburan ombak masih saja sama seperti kalipertama ia menginjakkan kaki di pasir yang putih bersih. Burung camar yang berkelompok menari di langit lepas.
Ia harus kembali. Kembali pada debaran yang tak menentu. Debaran yang membuat jiwanya gelisah. Debaran yang mengingatkannya akan sosoknya.

oO0Oo

                Pelataran yang biasanya sepi tampak meriah. Di tengah berdiri panggung kecil yang dihias sedemikian ramai. Kertas-kertas warna-warni ditempel di berbagai sisi-sisinya. Berhadapan langsung dengan panggung, deretan kursi plastik sudah tertata. Beberapa orang lalu lalang sibuk dengan tugasnya masing-masing. Ada yang memasang sound system, ada yang sedang mengangkat meja, ada yang sedang menata baju-baju bekas yang nantinya akan dijual dengan harga murah lalu uangnya akan disumbangkan kepada korban bencana.
                Gadis itu masih memperhatikan sosoknya yang cekatan menyulap tempat sepi itu menjadi sedemikian ramai. Satu dua temannya menegurnya beberapa kali. Beberapa kali itu pula dirinya harus mengalihkan pusat perhatiannya pada sembako-sembako yang harus ditatanya di atas meja.
                Pukul 09.00. Sudah tampak beberapa orang yang berdatangan. Ada yang bergerombol sambil bercengkrama, berdua menggandeng anaknya, atau sendiri sambil mencari teman berbincang. Beberapa kursi sudah terisi. Lima menit kemudian sosok itu berdiri di atas panggung. Menyapa serta memberi sambutan seperti biasa. Wajahnya yang ramah mudah dikenal. Mereka mendengarkan dengan seksama layaknya siswa yang mendengarkan penjelasan guru di dalam kelas.
                Seperti biasa, acara diisi dengan lomba MTQ dan LCCI untuk anak-anak, ada juga hiburan nasyid. Beberapa stand sudah diserbu, penuh sesak. Rata-rata dipenuhi oleh para ibu rumahtangga, terutama stand sembako murah.
                Manik coklat matanya mencari-cari sosoknya disela-sela brondongan para ibu di depannya. Setelah ia memberi sambutan tadi, sosoknya seperti lenyap terbawa angin. Punggung itu. Manik coklatnya berhenti pada punggung yang jelas sudah dihafalnya. Entahlah, rasanya segala sesuatu tentang dirinya sudah dihafalnya di luar kepala, bahkan yang sangat mendetail. Dirinya saja tidak menyadari kapan itu semua terjadi, yang ia tahu hanya tentang sosoknya, tak lebih tak kurang.
                “Jangan melamun terus. Itu ibunya mau bayar,” matanya mengerjap, mengalihkan pandangan dari sosoknya yang menjauh. Ia sendiri tersenyum malu menanggapi ucapan Najwa, sahabat yang selalu menjadi tempatnya mencurahkan tentang dia.
                “Jangan terus dipikirkan, Tiara. Semakin kamu memikirkannya semakin kamu tenggelam dalam rasamu itu,” ujar Najwa suatu waktu. Ia hanya mengendikkan bahu, tak tahu harus menjawab apa. Kalau ia menyanggah, jawaban Najwa masih tetap sama, “coba cari aktivitas lain.” Ia mendengus. Seharusnya sahabatnya itu tahu, atau berpura-pura tak tahu, aktivitas lain apa jika selama ini aktivitas lain itu selalu berhubungan dan bertemu dengan dia?
                Bisa ia mencoba aktivitas lain yang dimaksud Najwa. Tapi itu hanya berkutat dengan hakpen dan benang wol, masih belum kuat mengeyahkan bayang-bayangnya. Bayang-bayangnya yang selalu membuntutinya, kapanpun di manapun.
                Tak terasa acara selesai. Tempat yang semula ramai berangsur sepi seperti sedia kala. Beberapa membenahi pelataran seperti semula. Tiara masih mencari sosoknya. Terakhir kali dilihatnya sebelum sahabatnya menegurnya tadi. Kemanakah gerangan?
                Lagi-lagi dirinya sibuk mencari. Meja-meja yang tadi dipenuhi sembako, kosong, ludes. Bukannya ia memindahkan meja-meja itu ke tempatnya ia justru sibuk mencari. Lagi-lagi dia.
                “Tuh, kan, nyariin siapa lagi, mba? Mas tampannya lagi pergi.” Pergi? Kemana? Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan, mengacuhkan gerutuan Najwa. Najwa berdecak saat dirasa sahabatnya mengindahkannya.
                “Kamu belum tahu?” Tiara berhenti dengan semua pertanyaan-pertanyaannya. Kepalanya menoleh ke arah Najwa. Matanya menelisik maksud dari ucapan itu.
                Najwa menghela napas. Ia menggigit bibirnya, ragu. Haruskah ia mengatakan itu? Tapi nanti Tiara.... Tapi jika tidak kuberitahu dia akan lebih…..Argh…
                Najwa melangkah menuju tangga di dekat pelataran. Tempat itu cukup sepi. Tiara hanya mengekor di belakangnya.
                Tiara masih menunggu bibir sahabatnya bergerak. Perasaannya menjadi tidak tenang. Apa yang terjadi? Apakah terjadi sesuatu dengannya? Tidak. Ia tidak bisa membayangkan jika sesuatu yang buruk menimpa dirinya. Masya Allah.. Apa yang sedang kupikirkan?
                “Tiara…” Ia mengambil napas lalu melanjutkan, “jika Allah sudah memasangkan makhluknya, apakah makhluk lainnya berhak memilikinya? Jika Allah tidak mengizinkan makhluk lain itu memiliki, apakah makhluk lain itu masih berhak memilikinya?”
                Tiara masih belum mencerna dengan baik apa yang barusan didengarnya. Kedua alisnya menyatu. Tatapan matanya menghujam lawan bicaranya, meminta penjelasan yang lebih mudah untuk dicerna otaknya.
                Najwa menarik napas panjang. “Jika Allah telah menyatukan hati mas tampanmu dengan hati lainnya, apakah kamu mampu untuk mengingkarinya?”
                Matanya terus menatap sepasang mata di hadapannya. Mencari kesungguhan. Lagi ia mengerjap. Sorot matanya berubah sendu. Tiba-tiba matanya penuh dengan desakan cairan bening yang langsung terjun bebas tanpa permisi.
                Sungguh, ia masih sanggup jika harus mencintai dalam diam. Mencintai sosoknya dalam hati yang terdalam. Tapi sungguh, berat rasanya mengetahui bahwa hatinya telah terisi, bukan dengan miliknya. Oh, hatinya kebas.

oO0Oo

                Dua minggu berlalu. Hatinya masih kebas. Guratan kekecewaan masih nampak jelas memenuhi rongga rasanya.
Dalam dua minggu terakhir ia mengetahui segalanya. Tentangnya yang ternyata telah menghitbah seorang gadis yang cantik dan sholihah. Tentangnya yang telah mencintai gadis itu sejak lama, jauh sebelum ia merasakan bibit cintanya. Tentangnya yang pagi tadi mengucap akad yang seketika itu juga merontokkan rasa cintanya yang masih terus bermunculan.
Rasanya baru kemarin kali pertama ia bertemu pandang dengannya. Kali pertama mendengar suaranya yang duhai menyejukkan jiwa. Kali pertama rasa itu bergejolak entah dari mana.
Kini, semua itu harus dikubur dalam-dalam. Atau dilempar jauh ke dalam dimensi tak dikenal. Menghilangkan rasa cintanya yang memabukkan.
Ia jadi sadar diri. Betapa bodohnya selama ini. Larut dalam kesenangan yang tak berarti. Memanjakan nafsu yang menyakiti hati.
Seharusnya ia menyadari. Bahwa ia tak bisa memiliki, sebelum sang Pemilik Rasa memutuskan ia menjadi pemilik hatinya. Ah, ia terlalu menjauhi sang Pemilik Rasa. Atau terlalu mengesampingkan segalanya di atas rasa cintanya sehingga ia sendiri lupa akan Pemilik Rasa. Astaghfirullah…
Ia tak seharusnya mendzolimi diri. Tenggelam dalam rasa kekecewaan yang menggerus hati. Melemahkan iman.
Ya Rabb.. Maafkan hamba yang terlalu menyombongkan diri. Merasa telah memiliki. Tapi sejatinya hamba hanya milik-Mu. Hamba tak berhak mengatur sesuka hati. Karena semua terserah kehendakMu.
Hamba hanya ingin diberi kekuatan agar selalu mencintaiMu. Tak berpaling dariMu. Hamba hanya bisa memohon, agar rasa kecewa ini cepat terhapus. Terganti dengan jodoh yang telah Engkau persiapkan untuk hamba. Pertemukan kami ya Rabb, duhai sang Pemilik Rasa.

oO0Oo
Ketika Cinta Harus Dipendam
©Juli.2014. ARAKIDA
END


DON'T TAKE OUT IN ANOTHER SITE!!
GO AWAY PLAGIARISM!!


Tidak ada komentar:


Kaskus

Only


:ilovekaskus

:iloveindonesia

:kiss

:maho


:najis

:nosara

:marah


:berduka


:malu:

:ngakak

:repost:

:repost2:


:sup2:

:cendolbig

:batabig

:recsel



:takut

:ngacir2:

:shakehand2:

:bingung


:cekpm

:cd

:hammer

:peluk



:toast

:hoax:

:cystg

:dp


:selamat

:thumbup

:2thumbup

:angel


:matabelo


:mewek:

:request

:babyboy:


:babyboy1:

:babymaho

:babyboy2:

:babygirl


:sorry


:kr:

:travel

:nohope


:kimpoi

:ngacir:

:ultah

:salahkamar


:rate5

:cool


:bola


by Pakto


:mewek2:

:rate-5

:supermaho

:4L4Y


:hoax2:


:nyimak

:hotrit

:sungkem


:cektkp

:hope

:Pertamax

:thxmomod


:laper


:siul

:2malu:

:ngintip


:hny

:cendolnya


by misterdarvus


:maintenis:


:maintenis2:

:soccer

:devil


:kr2:

:sunny

Posting Komentar

Menghargai karya orang lain akan mendapat pahala, seperti hal nya mengomentari postingan ini. thx ^_^

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Blue Fire Pointer