Akhirnya
aku menepati janji (bisa dibilang bukan janji sih, hehe). Dalam edisi FULL
STORY ini akan terkuak maksud dari cerita pendeknya, hohoho.. Jadi, bagi yang
penasaran yuk cusss baca cerita ini.. Tapi, bagi yang tidak mau juga #akurapopo..
Aku tidak memaksa siapapun untuk mengorbankan waktunya sekedar membaca karya
yang masih pemula ini. Tapi, terima kasih banyak bagi yang mau membacanya,
apalagi yang me-like maupun yang memberikan kritik, saran, atau pendapat di
kolom komentar.. Semoga Allah membalas semua itu dengan kebaikan.. So, happy
and enjoy reading, guys..
Sepotong Hati di Sudut Taman [FULL STORY]
PRESENT
Suara
instrumen yang dimainkannya memecah kesunyian. Di bawah pohon maple, sambil
memejamkan mata ia larut dalam permainannya. Sudah lewat satu jam dihabiskannya
untuk mengekpresikan apa yang dirasa. Ah, betapa sulit yang dirasa. Hanya
melodi yang mampu menggambarkannya.
Gesekan yang
ditimbulkan sungguh indah. Seperti taman yang sekarang dipijaknya. Begitu
tentram. Hanya ada dedaunan yang berguguran. Ia hanya seorang diri. Tempat ini
yang selalu disinggahinya. Tempat inilah yang merekam semua kesedihannya.
Kepiawaiannya
akan memainkan biola sudah tak diragukan lagi. Bahkan seminggu yang lalu ia
tampil disuatu acara bergengsi. Banyak orang yang mengagumi. Tapi semua itu
masih belum menutupi kekosongan hati.
Hatinya yang
telah lama kehilangan sepotong bagiannya. Hatinya yang telah lama tergores
kebisuan rasa. Hatinya yang telah lama merindukan hal yang berharga. Hatinya
yang selalu menantinya. Menanti kehadiran pemilik sepotong bagiannya.
Sekelebat film
yang pernah dialaminya selalu membayangi. Seakan sudah terprogram dalam pikiran
serta hatinya. Ah, ia tak pernah mengharapkan ini. Tapi ia tak bisa berkutik.
Terlalu pahit untuk menerima. Terlalu pahit untuk bangun dari mimpinya.
Semua itu tak
akan berhenti sebelum ia melupakan taman ini. Namun seakan ada medan magnet yang
terus menerus menariknya dan membawanya kemari. Ah, rasanya ia ingin lari.
Ingin lari dari semua yang dialami.
Lembayung jingga
telah menyapa. Mengharuskannya pergi meninggalkan sepotong hatinya yang
tertinggal di sini. Desahan berat keluar begitu saja. Ia letakan kembali
instrumennya—menaruhnya di dalam sebuah tas khusus. Lalu disampirkannya tas itu
sambil melangkah meninggalkan tempat kenangannya. Berharap pagi cepat datang
agar ia bisa menyapa kembali sepotong hatinya yang hilang.
Namun semua
harapan itu hanyalah harapan. Nyatanya semakin hari semakin kuat medan magnet
yang menariknya. Menenggelamkan dalam kerinduan yang teramat besar. Ah,
ternyata semakin berat ia meninggalkan. Sepotong hatinya yang hilang itu telah
memberikan pengaruh yang teramat besar di dalam hidupnya.
Lagi lagu itu.
Lagu yang terus dimainkannya. Lagu yang selalu dimainkannya. Lagu yang mengingatkannya
akan sepotong hatinya yang hilang. Lagu itu terlalu menceritakan hal yang
hilang itu. Terlalu banyak kenangan yang ingin terus diulang.
Aku tak tahu kapan kita bertemu
Tapi saat itu kusadari aku telah jatuh dalam
bayangmu
Aku tak pernah tahu kapan kita menyatu
Tapi saat itu kusadari aku telah
kehilanganmu
Buliran kerinduan lepas begitu saja dari sudut
matanya. Kedua alisnya yang menyatu sangat jelas bahwa ia hanyut dalam suara
biolanya. Matanya selalu terpejam. Bibirnya melengkung ke bawah. Rambut panjang
yang terurai disapa angin. Bahkan anginpun semakin memperkuat apa yang
dirasakannya.
Aku tak menyadari sejak kapan kau hilang
dari pandanganku
Yang kutahu tak ada lagi genggaman tanganmu
Yang kutahu wangi feromonmu lenyap dari
indra penciumanku
Yang kutahu suaramu tak lagi menentramkan
hatiku
Yang kutahu sepotong hatiku hilang dibawa
olehmu
oO0Oo
Malam itu,
seharusnya menjadi malam pertama ia berdiri di panggung besar bersama jajaran
musisi lainnya. Di panggung besar, di ruangan besar, dan ditonton banyak orang
yang memenuhi tribun. Dengan penataan panggung yang indah. Dan juga Lampu-lampu
yang ditata sedemikian apik. Mimpinya di depan mata.
Ia masih duduk
di depan meja rias. Biolanya tergeletak di meja tanpa ada niat untuk
disentuhnya. Matanya terus-menerus menatap layar ponselnya. Berharap ada kabar
dari seseorang di sana. Kakinya terus bergerak mengetuk lantai. Kuharap ia datang.
“Aileen-ssi. Dua penampil lagi,” suara seorang wanita
berhasil membuat ketukan sepatunya berhenti. Ia mendongkak melihat siapa yang
berbicara kepadanya. Ternyata salah seorang kru. Ia menarik napas panjang.
Sudah setengah jam ternyata ia menunggu kabar dari seseorang di sana.
Biola yang
sedari tadi dihiraukannya pun diambilnya. Tangan kanannya mulai menggesekkan
biolanya. Menciptakan melodi yang sungguh indah. Irama lambat yang tercipta
sungguh mewakilkan perasaannya. Kuharap
ia datang.
Heels hitamnya beradu dengan lantai.
Kakinya melangkah meninggalkan ruang make
up menuju belakang panggung. Tirai panggung terbuka, seseorang keluar dari
sana. Seorang gadis seumurannya. Ia mengipas wajahnya dengan telapak tangannya,
keluar serentetan kata dari gadis itu—yang hanya sedikit dimengerti oleh
Aileen. Aileen mendesah—desahan ketiga sejak ia meninggalkan ruangan tadi. Kuharap ia datang.
Kurang satu
penampil lagi setelah itu ia akan benar-benar menginjakkan kakinya di panggung
impiannya. Beberapa musisi lainnya—yang akan tampil setelahnya—sedang asik
bergurau. Ia tak minat masuk dalam canda tawa itu. Ia lebih memilih menundukkan
kepalanya dan terpejam, bibirnya tak henti mengeluarkan harapannya. Kuharap ia datang.
“Selanjutnya
adalah penampilan dari Aileen Zoriana.” Riuh penonton pecah. Mereka semua
memberi applause ketika Aileen
memasuki panggung. Sedangkan Aileen masih sibuk dengan dirinya sendiri,
mengeluarkan bisikan yang ia yakin hanya dirinya yang mendengar, kuharap ia datang.
Setelah ia
berdiri tepat di tengah panggung, pandangannya menyapu seluruh penonton.
Sayangnya ia belum bisa menemukan sosok yang diharapkannya, atau mungkin karena
jumlah penonton yang banyak tidak bisa dijamah oleh matanya, atau karena
ruangan yang tiba-tiba redup menyembunyikan wajah setiap penonton di depannya.
Ia menarik napas
panjang. Matanya kembali terpejam saat gesekan itu menimbulkan melodi yang
menghanyutkan. Kuharap ia datang.
Tersirat emosinya yang terdalam dalam permainannya. Tiba-tiba latar berganti.
Bukan lagi di atas panggung dengan jutaan penonton di depannya. Hembusan angin taman
menerpa wajahnya. Melambai-lambaikan rambut panjangnya yang tergerai. Walaupun
ia tengah terpejam, ia bisa merasakan seseorang di depannya tak berhenti
menatapnya. Dan itu berhasil menarik sudut bibirnya membuat sebuah senyuman.
“Aileen,
permainanmu sungguh indah,” suara berat itu mampu menimbulkan semburat merah di
pipi Aileen. Ia tersipu malu. Hanya tersenyum menanggapi ucapan itu. Setelah
itu ia melangkah menuju bangku taman. Duduk di sebelah seseorang yang berhasil
membuat pipinya bersemu merah.
“Suatu hari
nanti kau akan berdiri di panggung besar.” Lagi, ucapan itu menggelitik
perutnya. Melambungkan harapan yang bahkan tak pernah terbesit olehnya. “Emm.
Dan kuharap kau ada di bangku penonton,” dengan malu ia menanggapi ucapan
lelaki di sampingnya. “Pasti,” satu kata itu benar-benar membuatnya melayang.
Benar, ia harus bisa berdiri di panggung besar bagaimana caranya. Ia harus bisa
membuat harapan lelaki disampingnya—yang juga menjadi harapan baru untuknya—menjadi
kenyataan.
Riuh tepuk
tangan yang tertangkap telingannya membuatnya membuka mata. Matanya masih
menelisik apa yang dilihatnya. Oh, ia masih berdiri di atas panggung, bukan
berada di taman bersamanya. Ia tersentak. Matanya dengan cepat mencari-cari
seseorang yang diharapkannya, yang tadi menemaninya di taman, yang tadi
mengatakan ia akan berada di panggung besar, yang tadi dengan mantap berkata
pasti akan datang di bangku penonton. Tapi, di mana ia sekarang? Sudah puluhan
kali ia menyapu seluruh penonton—bahkan sangat detail ke setiap penonton tapi
ia masih belum menemukan wajah menenangkan sosok itu.
Kalau bukan
karena kode yang diberikan Jieun—itu yang ia lihat dari nametag-nya—kru yang tadi ditemuinya di ruang make up, mungkin ia masih sibuk mencari sosok itu dan akan
mempermalukan dirinya sendiri di atas panggung. “Neo gwaenchanayo? (kamu tidak apa-apa?).” Aileen hanya tersenyum.
Tidak, ia tidak baik-baik saja. Ia membutuhkan sosoknya. Setidaknya jika memang
ia tidak bisa menepati janjinya, ia memberikan kabar untuknya. Tapi, lihat, tak
ada satupun pesan ataupun panggilan di ponselnya. Atau jika ia tidak duduk di
bangku penonton, setidaknya ia menunggunya di balik panggung, atau menyambutnya
di ruang make up. Ah, ia terlalu
banyak berharap.
Matanya sayu. Ia
sendiri bergidik melihat wajahnya di depan cermin. Walaupun wajahnya cantik
dengan riasan, tapi ia lebih menyukai wajahnya yang tanpa riasan tetapi senyum
di wajahnya terus terpasang. Senyum untuk sosoknya.
“Igeo. (Ini.)” Seseorang mengulurkan
sekaleng minuman. Ia melihat pemilik tangan. Ia masih berharap sosok itu
datang, dan menjadi pemilik tangan ini. Bahunya melorot, harapannya pupus.
“Kulihat sedari
tadi kau terus melamun.” Pemilik tangan itu—Jieun—membuka percakapan. Jieun
mendudukkan diri di atas meja rias. Menatap lawan bicaranya yang masih bungkam.
Lagi-lagi Aileen hanya tersenyum menanggapi ucapan Jieun. “Apakah ada sesuatu
yang mengganggumu?” Aileen masih tak mengeluarkan sepatah katapun.
“Baiklah, aku
tak akan menyinggungnya kembali. Ngomong-ngomong, Aileen-ssi, apakah kau asli keturunan orang Korea atau kau hanya menetap
di sini?” Matanya menjadi sendu. Bahkan apa yang dirasakannya lebih menusuk
hatinya daripada pembicaraan awal.
“Ibuku orang
Korea,” suaranya tercekat. Sayang, Jieun tidak menyadarinya, ia justru
mengangguk sambil tersenyum lebar. “Benarkah? Apakah ibumu juga seorang
musisi?” Sebelum menjawabnya, Aileen menelan ludah, bahkan sekarang seperti
menelan bongkahan batu yang besar. “Ya. Kim Misun.”
Kedua mata sipit
Jieun membola seketika. “Jeongmal?
(Benarkah?) Wah, daebak! (Hebat!)
Bukankah dia musisi yang sangat terkenal itu. Ah, aku benar-benar mengaguminya!
Bolehkah aku meminta tandatangannya?”
Aileen tersenyum
getir. Dan lagi-lagi Jieun tidak menyadarinya, terlalu senang. “Dia sakit.”
Mendengar jawaban lirih itu, Jieun terdiam. Mencerna kembali apa yang
didengarnya. “Ah, maaf. Aku tidak tahu kalau..” “Gwaenchana. (Tidak apa-apa),” potong Aileen. Ia menarik napas lalu
melanjutkan, “Sudah tiga bulan ibuku koma,” mata Jieun kembali membola, tapi
tak ada raut kesenangan seperti tadi.
“Sebenarnya
sudah beberapa tahun terakhir ia harus menjalani rawat jalan. Aku tahu kau
pasti terkejut, semua itu memang sengaja disembunyikan dari publik. Termasuk
aku,” lirihnya di akhir ucapannya. Aileen kembali tersenyum getir. Mengingat
kembali kejadian-kejadian waktu itu. Di mana dirinya yang masih remaja, masih
mengenakan seragam sekolahnya menemukan fakta yang sangat memukul jiwanya. Dan
sejak itulah ia menjadi gadis yang pendiam. Hari-hari dibangku sekolah menengah
atasnya ia habiskan dengan menutup diri. Saat istirahat, di mana setiap
teman-temannya akan bergerombol, berbagi canda, mengobrol, ia lebih memilih
berada di atap sekolah bersama biolanya. Sejak saat itu, ia memutuskan bermain
biola, padahal sebelumnya ia sangat membencinya.
Ayahnya yang
berkebangsaan Perancis menikah dengan ibunya, Kim Misun, musisi terkenal di
Korea. Tapi, sayang, keluarga dari pihak ayahnya tak menganggap keberadaannya
dan ibunya. Ya, mereka menentang keras pernikahan antarwarga negara itu. Entah
apa masalahnya. Menyadari itu, ia menjadi benci dengan musik, terutama Biola.
Karena menurutnya, karena ibunyalah—yang sebatangkara—keluarga ayahnya
membencinya.
Tapi, semua itu
berbalik. Ia selalu membawa biola kemanapun ia pergi—setelah mendengar
kenyataan pahit itu. Menurut dokter pribadi ibunya, hidup ibunya tak lama lagi.
Bahkan dokter sendiri tidak bisa menaksir sisa umur ibunya, hanya kata ‘tidak
lama lagi’. Semua itu terus terngiang. Ah, betapa ia menyesalnya dulu. Selama
tujuhbelas tahun hidupnya hidup dengan kebencian terhadap ibunya sandiri.
Padahal seharusnya ia menjadi pengobat luka bagi ibunya. Cukup keluarga ayahnya
yang membencinya, tidak dengan dirinya.
Setelah hari
kelulusan sekolahnya, ia pergi menuju sebuah taman yang jarang dikunjungi. Ia
meluapkan segalanya. Memainkan biolanya, sendiri. Lalu setiap hari ia selalu
menyinggahi tamannya—ia menganggapnya begitu. Sampai, sosok itu, sosok itu yang
tidak sengaja mendengar permainannya. Sosok yang diam-diam juga ikut menikmati
alunan biolanya dari kejauhan. Dan entah bagaimana mereka menjadi dekat.
Walaupun Aileen masih malu-malu jika mereka hanya berdua di taman itu, apalagi
jika sosok itu memuji permainannya.
Tepukan hangat dibahunya menyentaknya dari
kenangan. Ia melihat tangan itu. Lalu memandang Jieun. “Kuharap kau tabah.”
oO0Oo
Sudah seminggu
sejak penampilannya di panggung besar itu. Sudah seminggu pula ia menunggu
kabar dari sosok itu. Sejak seminggu yang lalu pula ia selalu menunggu di
tamannya. Nihil. Tak ada kabar apapun. Ia kembali menggesek biolanya. Meluapkan
kegelisahannya, kerinduannya.
“Chogiyo. (Permisi.)” Permainannya
berhenti. Ia membuka mata. Alisnya menyatu melihat seorang gadis—yang lebih
muda darinya—menghampirinya. “Apakah kau Aileen eonni (kakak)?” Aileen mengangguk. Ia melihat gadis itu menghela
napas, lalu duduk di bangku taman di depannya. Aileen mengikutinya, duduk di
sebelahnya.
“Kau memang
cantik. Permainan biolamu juga indah. Seungwoon oppa (kakak) benar.” DEG.. Nama yang diucapkan gadis disampingnya
membuatnya menoleh ke arah gadis itu. Menelisik maksud dari perkataannya. “Kau
mengenal Seungwoon-ssi?”
“Ya, dia oppa-ku.” Tubuh Aileen membeku. Gadis
disebelahnya lagi-lagi membuatnya terkejut. Tapi mengapa justru adiknya yang
datang, kenapa bukan kakaknya saja yang menemuinya? “Oppa senang mendengar permainanmu, juga senang melihat wajahmu
ketika memainkannya, katanya wajahmu sangat menenangkan hati ketika bermain
biola. Awalnya aku tak percaya dengan ucapannya, tapi setelah aku melihatmu
memainkan biola tadi, ucapan oppa
memang benar. Pantas saja oppa selalu pergi ke sini mendengarkan permainanmu.
Dan kurasa ia juga selalu ingin mendengarnya,” kalimat terakhir itu terdengar
berbeda.
“Ah, ya, aku
lupa memperkenalkan diri. Aku Cho Haneul.” Aileen menjabat tangannya. Ia masih
belum berkata. “Oh, aku sangat ingin mendengarkan permainanmu lagi, tapi aku
harus pergi. Dan ini..” Gadis itu mengeluarkan sebuah kotak dan menyerahkannya
kepada Aileen. Aileen hanya menerimanya, walaupun ia masih bingung maksud gadis
di depannya memberinya kotak itu. “Dari Seungwoon oppa. Ia berharap kau selalu bahagia. Aku pergi dulu. Annyeong~” Belum sempat Aileen berkata,
gadis itu berlari kecil meninggalkannya. Aileen hanya menatap punggung gadis
itu yang semakin menjauh dan menghilang di persimpangan jalan.
Kini perhatiannya
terpusat pada kotak yang berada di tangannya. Perlahan ia membuka kotak itu.
Hal pertama yang ditemukannya adalah sebuah kertas yang terlipat rapi. Ia
mengambil kertas itu dan meletakkan kotak dipangkuannya.
Hai..
Bagaimana kabarmu? Kuharap kau baik-baik
saja, dan selalu baik-baik saja. Bagaimana penampilanmu di panggung itu? Pasti
sangat indah. Sayangnya aku tidak bisa melihatnya. Maafkan aku, aku tidak
menepati janjiku. Karena saat kau berdiri di panggung dan memukau banyak orang,
aku harus berada di ruang operasi.
Mungkin kau akan terkejut. Tapi aku minta
maaf sebelumnya tidak memberi tahuku sejak awal. Aku hanya tidak ingin
membuatmu bertambah sedih. Aku mempunyai sedikit masalah dengan jantungku.
Mungkin sebelumnya kau juga mengetahui tetapi tidak menyadarinya. Ingat saat
kita pergi ke Namsan Tower? Saat itu kau menaiki tangga sambil berlari. Dan aku
berusaha menyamaimu tapi aku justru kelelahan dan kau meledekku lalu kau
terpaksa menuruni tangga untuk membantuku. Ya, aku memang payah, seperti katamu
saat itu. Aku sendiri membenci diriku yang payah ini. Tapi, Tuhan memberikan
kepayahan itu untukku. Aku tidak bisa marah.
Aku tahu cerita ini membuatmu menangis lagi.
Tapi kuharap kau tidak menangisiku. Aku baik-baik saja, sungguh. Aku hanya ingin
kau terus tersenyum karena senyummu sungguh indah. Aku tidak membual, senyummu
memang benar-benar indah. Dan kuyakin semua orang setuju denganku.
Kau tahu, jika operasi kali ini lancar, aku
bisa menghadiri panggung-panggungmu yang lainnya. Aku menyesal tidak melihat
panggung pertamamu. Tapi aku ingin selalu melihat panggung-panggungmu
setelahnya. Aku akan berada di deretan bangku depan. Hahaha.. Kau pasti akan
bosan nanti. Baiklah, aku harus masuk ke ruang operasi sekarang. Aku tidak
sabar melihat panggung-panggungmu nanti. Tapi, kau harus berjanji. Kau tidak
akan bersedih. Kau harus selalu tersenyum. Dan harus bahagia. Walaupun tanpa
aku. Kuharap operasi yang kata dokter kemungkinan hidupku tidak sampai setengah
persen berjalan lancer. Kau juga berharap begitu kan?
Dan terakhir, na neo saranghae.. (aku
mencintaimu)
_Cho Seungwoon
oO0Oo
Lagi lagu itu.
Lagu yang terus dimainkannya. Lagu yang selalu dimainkannya. Lagu yang mengingatkannya
akan sepotong hatinya yang hilang. Lagu itu terlalu menceritakan hal yang
hilang itu. Terlalu banyak kenangan yang ingin terus diulang.
Buliran kerinduan lepas begitu saja dari sudut
matanya. Kedua alisnya yang menyatu sangat jelas bahwa ia hanyut dalam suara
biolanya. Matanya selalu terpejam. Bibirnya melengkung ke bawah. Rambut panjang
yang terurai disapa angin. Bahkan anginpun semakin memperkuat apa yang
dirasakannya.
Ia menyudahi
permainannya. Meletakkan kembali biolanya ke dalam tas. Lalu menatap sejenak
bangku taman di depannya. Kau sudah lihat
permainanku bukan? Bukankah permainanku sekarang bertambah hebat? Baiklah, ayo
kita pergi ke panggungku. Aku sudah menyiapkan satu bangku di deretan pertama
tepat di depanku untukmu. Dan kau tahu, aku tidak akan bosan dengan
kehadiranmu..
Sepotong Hati di Sudut Taman [FULL STORY]
END
©2014.ARAKIDA
Lagi-lagi tolong
jangan bully aku dengan ending yang.. ya.. begini.. hehehe.. Oke, silakan
berikan komentarnya. *peace Maafkan aku kalau masih ada typo, aku juga manusia
biasa yang tak luput dari dosa (jreng jreng..)
Tidak ada komentar:
Kaskus
Only
:ilovekaskus
:iloveindonesia
:kiss
:maho
:najis
:nosara
:marah
:berduka
:malu:
:ngakak
:repost:
:repost2:
:sup2:
:cendolbig
:batabig
:recsel
:takut
:ngacir2:
:shakehand2:
:bingung
:cekpm
:cd
:hammer
:peluk
:toast
:hoax:
:cystg
:dp
:selamat
:thumbup
:2thumbup
:angel
:matabelo
:mewek:
:request
:babyboy:
:babyboy1:
:babymaho
:babyboy2:
:babygirl
:sorry
:kr:
:travel
:nohope
:kimpoi
:ngacir:
:ultah
:salahkamar
:rate5
:cool
:bola
by Pakto
:mewek2:
:rate-5
:supermaho
:4L4Y
:hoax2:
:nyimak
:hotrit
:sungkem
:cektkp
:hope
:Pertamax
:thxmomod
:laper
:siul
:2malu:
:ngintip
:hny
:cendolnya
by misterdarvus
:maintenis:
:maintenis2:
:soccer
:devil
:kr2:
:sunny
Posting Komentar
Menghargai karya orang lain akan mendapat pahala, seperti hal nya mengomentari postingan ini. thx ^_^