Jumat, 11 Juli 2014

CERPEN: Sepotong Hati di Sudut Taman [FULL STORY]

                Akhirnya aku menepati janji (bisa dibilang bukan janji sih, hehe). Dalam edisi FULL STORY ini akan terkuak maksud dari cerita pendeknya, hohoho.. Jadi, bagi yang penasaran yuk cusss baca cerita ini.. Tapi, bagi yang tidak mau juga #akurapopo.. Aku tidak memaksa siapapun untuk mengorbankan waktunya sekedar membaca karya yang masih pemula ini. Tapi, terima kasih banyak bagi yang mau membacanya, apalagi yang me-like maupun yang memberikan kritik, saran, atau pendapat di kolom komentar.. Semoga Allah membalas semua itu dengan kebaikan.. So, happy and enjoy reading, guys..



Sepotong Hati di Sudut Taman [FULL STORY]
PRESENT


                Suara instrumen yang dimainkannya memecah kesunyian. Di bawah pohon maple, sambil memejamkan mata ia larut dalam permainannya. Sudah lewat satu jam dihabiskannya untuk mengekpresikan apa yang dirasa. Ah, betapa sulit yang dirasa. Hanya melodi yang mampu menggambarkannya.
Gesekan yang ditimbulkan sungguh indah. Seperti taman yang sekarang dipijaknya. Begitu tentram. Hanya ada dedaunan yang berguguran. Ia hanya seorang diri. Tempat ini yang selalu disinggahinya. Tempat inilah yang merekam semua kesedihannya.
Kepiawaiannya akan memainkan biola sudah tak diragukan lagi. Bahkan seminggu yang lalu ia tampil disuatu acara bergengsi. Banyak orang yang mengagumi. Tapi semua itu masih belum menutupi kekosongan hati.
Hatinya yang telah lama kehilangan sepotong bagiannya. Hatinya yang telah lama tergores kebisuan rasa. Hatinya yang telah lama merindukan hal yang berharga. Hatinya yang selalu menantinya. Menanti kehadiran pemilik sepotong bagiannya.
Sekelebat film yang pernah dialaminya selalu membayangi. Seakan sudah terprogram dalam pikiran serta hatinya. Ah, ia tak pernah mengharapkan ini. Tapi ia tak bisa berkutik. Terlalu pahit untuk menerima. Terlalu pahit untuk bangun dari mimpinya.
Semua itu tak akan berhenti sebelum ia melupakan taman ini. Namun seakan ada medan magnet yang terus menerus menariknya dan membawanya kemari. Ah, rasanya ia ingin lari. Ingin lari dari semua yang dialami.
Lembayung jingga telah menyapa. Mengharuskannya pergi meninggalkan sepotong hatinya yang tertinggal di sini. Desahan berat keluar begitu saja. Ia letakan kembali instrumennya—menaruhnya di dalam sebuah tas khusus. Lalu disampirkannya tas itu sambil melangkah meninggalkan tempat kenangannya. Berharap pagi cepat datang agar ia bisa menyapa kembali sepotong hatinya yang hilang.
Namun semua harapan itu hanyalah harapan. Nyatanya semakin hari semakin kuat medan magnet yang menariknya. Menenggelamkan dalam kerinduan yang teramat besar. Ah, ternyata semakin berat ia meninggalkan. Sepotong hatinya yang hilang itu telah memberikan pengaruh yang teramat besar di dalam hidupnya.
Lagi lagu itu. Lagu yang terus dimainkannya. Lagu yang selalu dimainkannya. Lagu yang mengingatkannya akan sepotong hatinya yang hilang. Lagu itu terlalu menceritakan hal yang hilang itu. Terlalu banyak kenangan yang ingin terus diulang.
Aku tak tahu kapan kita bertemu
Tapi saat itu kusadari aku telah jatuh dalam bayangmu
Aku tak pernah tahu kapan kita menyatu
Tapi saat itu kusadari aku telah kehilanganmu
Buliran  kerinduan lepas begitu saja dari sudut matanya. Kedua alisnya yang menyatu sangat jelas bahwa ia hanyut dalam suara biolanya. Matanya selalu terpejam. Bibirnya melengkung ke bawah. Rambut panjang yang terurai disapa angin. Bahkan anginpun semakin memperkuat apa yang dirasakannya.
Aku tak menyadari sejak kapan kau hilang dari pandanganku
Yang kutahu tak ada lagi genggaman tanganmu
Yang kutahu wangi feromonmu lenyap dari indra penciumanku
Yang kutahu suaramu tak lagi menentramkan hatiku
Yang kutahu sepotong hatiku hilang dibawa olehmu

oO0Oo

Malam itu, seharusnya menjadi malam pertama ia berdiri di panggung besar bersama jajaran musisi lainnya. Di panggung besar, di ruangan besar, dan ditonton banyak orang yang memenuhi tribun. Dengan penataan panggung yang indah. Dan juga Lampu-lampu yang ditata sedemikian apik. Mimpinya di depan mata.
Ia masih duduk di depan meja rias. Biolanya tergeletak di meja tanpa ada niat untuk disentuhnya. Matanya terus-menerus menatap layar ponselnya. Berharap ada kabar dari seseorang di sana. Kakinya terus bergerak mengetuk lantai. Kuharap ia datang.
“Aileen-ssi. Dua penampil lagi,” suara seorang wanita berhasil membuat ketukan sepatunya berhenti. Ia mendongkak melihat siapa yang berbicara kepadanya. Ternyata salah seorang kru. Ia menarik napas panjang. Sudah setengah jam ternyata ia menunggu kabar dari seseorang di sana.
Biola yang sedari tadi dihiraukannya pun diambilnya. Tangan kanannya mulai menggesekkan biolanya. Menciptakan melodi yang sungguh indah. Irama lambat yang tercipta sungguh mewakilkan perasaannya. Kuharap ia datang.
Heels hitamnya beradu dengan lantai. Kakinya melangkah meninggalkan ruang make up menuju belakang panggung. Tirai panggung terbuka, seseorang keluar dari sana. Seorang gadis seumurannya. Ia mengipas wajahnya dengan telapak tangannya, keluar serentetan kata dari gadis itu—yang hanya sedikit dimengerti oleh Aileen. Aileen mendesah—desahan ketiga sejak ia meninggalkan ruangan tadi. Kuharap ia datang.
Kurang satu penampil lagi setelah itu ia akan benar-benar menginjakkan kakinya di panggung impiannya. Beberapa musisi lainnya—yang akan tampil setelahnya—sedang asik bergurau. Ia tak minat masuk dalam canda tawa itu. Ia lebih memilih menundukkan kepalanya dan terpejam, bibirnya tak henti mengeluarkan harapannya. Kuharap ia datang.
“Selanjutnya adalah penampilan dari Aileen Zoriana.” Riuh penonton pecah. Mereka semua memberi applause ketika Aileen memasuki panggung. Sedangkan Aileen masih sibuk dengan dirinya sendiri, mengeluarkan bisikan yang ia yakin hanya dirinya yang mendengar, kuharap ia datang.
Setelah ia berdiri tepat di tengah panggung, pandangannya menyapu seluruh penonton. Sayangnya ia belum bisa menemukan sosok yang diharapkannya, atau mungkin karena jumlah penonton yang banyak tidak bisa dijamah oleh matanya, atau karena ruangan yang tiba-tiba redup menyembunyikan wajah setiap penonton di depannya.
Ia menarik napas panjang. Matanya kembali terpejam saat gesekan itu menimbulkan melodi yang menghanyutkan. Kuharap ia datang. Tersirat emosinya yang terdalam dalam permainannya. Tiba-tiba latar berganti. Bukan lagi di atas panggung dengan jutaan penonton di depannya. Hembusan angin taman menerpa wajahnya. Melambai-lambaikan rambut panjangnya yang tergerai. Walaupun ia tengah terpejam, ia bisa merasakan seseorang di depannya tak berhenti menatapnya. Dan itu berhasil menarik sudut bibirnya membuat sebuah senyuman.
“Aileen, permainanmu sungguh indah,” suara berat itu mampu menimbulkan semburat merah di pipi Aileen. Ia tersipu malu. Hanya tersenyum menanggapi ucapan itu. Setelah itu ia melangkah menuju bangku taman. Duduk di sebelah seseorang yang berhasil membuat pipinya bersemu merah.
“Suatu hari nanti kau akan berdiri di panggung besar.” Lagi, ucapan itu menggelitik perutnya. Melambungkan harapan yang bahkan tak pernah terbesit olehnya. “Emm. Dan kuharap kau ada di bangku penonton,” dengan malu ia menanggapi ucapan lelaki di sampingnya. “Pasti,” satu kata itu benar-benar membuatnya melayang. Benar, ia harus bisa berdiri di panggung besar bagaimana caranya. Ia harus bisa membuat harapan lelaki disampingnya—yang juga menjadi harapan baru untuknya—menjadi kenyataan.
Riuh tepuk tangan yang tertangkap telingannya membuatnya membuka mata. Matanya masih menelisik apa yang dilihatnya. Oh, ia masih berdiri di atas panggung, bukan berada di taman bersamanya. Ia tersentak. Matanya dengan cepat mencari-cari seseorang yang diharapkannya, yang tadi menemaninya di taman, yang tadi mengatakan ia akan berada di panggung besar, yang tadi dengan mantap berkata pasti akan datang di bangku penonton. Tapi, di mana ia sekarang? Sudah puluhan kali ia menyapu seluruh penonton—bahkan sangat detail ke setiap penonton tapi ia masih belum menemukan wajah menenangkan sosok itu.
Kalau bukan karena kode yang diberikan Jieun—itu yang ia lihat dari nametag-nya—kru yang tadi ditemuinya di ruang make up, mungkin ia masih sibuk mencari sosok itu dan akan mempermalukan dirinya sendiri di atas panggung. “Neo gwaenchanayo? (kamu tidak apa-apa?).” Aileen hanya tersenyum. Tidak, ia tidak baik-baik saja. Ia membutuhkan sosoknya. Setidaknya jika memang ia tidak bisa menepati janjinya, ia memberikan kabar untuknya. Tapi, lihat, tak ada satupun pesan ataupun panggilan di ponselnya. Atau jika ia tidak duduk di bangku penonton, setidaknya ia menunggunya di balik panggung, atau menyambutnya di ruang make up. Ah, ia terlalu banyak berharap.
Matanya sayu. Ia sendiri bergidik melihat wajahnya di depan cermin. Walaupun wajahnya cantik dengan riasan, tapi ia lebih menyukai wajahnya yang tanpa riasan tetapi senyum di wajahnya terus terpasang. Senyum untuk sosoknya.
Igeo. (Ini.)” Seseorang mengulurkan sekaleng minuman. Ia melihat pemilik tangan. Ia masih berharap sosok itu datang, dan menjadi pemilik tangan ini. Bahunya melorot, harapannya pupus.
“Kulihat sedari tadi kau terus melamun.” Pemilik tangan itu—Jieun—membuka percakapan. Jieun mendudukkan diri di atas meja rias. Menatap lawan bicaranya yang masih bungkam. Lagi-lagi Aileen hanya tersenyum menanggapi ucapan Jieun. “Apakah ada sesuatu yang mengganggumu?” Aileen masih tak mengeluarkan sepatah katapun.
“Baiklah, aku tak akan menyinggungnya kembali. Ngomong-ngomong, Aileen-ssi, apakah kau asli keturunan orang Korea atau kau hanya menetap di sini?” Matanya menjadi sendu. Bahkan apa yang dirasakannya lebih menusuk hatinya daripada pembicaraan awal.
“Ibuku orang Korea,” suaranya tercekat. Sayang, Jieun tidak menyadarinya, ia justru mengangguk sambil tersenyum lebar. “Benarkah? Apakah ibumu juga seorang musisi?” Sebelum menjawabnya, Aileen menelan ludah, bahkan sekarang seperti menelan bongkahan batu yang besar. “Ya. Kim Misun.”
Kedua mata sipit Jieun membola seketika. “Jeongmal? (Benarkah?) Wah, daebak! (Hebat!) Bukankah dia musisi yang sangat terkenal itu. Ah, aku benar-benar mengaguminya! Bolehkah aku meminta tandatangannya?”
Aileen tersenyum getir. Dan lagi-lagi Jieun tidak menyadarinya, terlalu senang. “Dia sakit.” Mendengar jawaban lirih itu, Jieun terdiam. Mencerna kembali apa yang didengarnya. “Ah, maaf. Aku tidak tahu kalau..” “Gwaenchana. (Tidak apa-apa),” potong Aileen. Ia menarik napas lalu melanjutkan, “Sudah tiga bulan ibuku koma,” mata Jieun kembali membola, tapi tak ada raut kesenangan seperti tadi.
“Sebenarnya sudah beberapa tahun terakhir ia harus menjalani rawat jalan. Aku tahu kau pasti terkejut, semua itu memang sengaja disembunyikan dari publik. Termasuk aku,” lirihnya di akhir ucapannya. Aileen kembali tersenyum getir. Mengingat kembali kejadian-kejadian waktu itu. Di mana dirinya yang masih remaja, masih mengenakan seragam sekolahnya menemukan fakta yang sangat memukul jiwanya. Dan sejak itulah ia menjadi gadis yang pendiam. Hari-hari dibangku sekolah menengah atasnya ia habiskan dengan menutup diri. Saat istirahat, di mana setiap teman-temannya akan bergerombol, berbagi canda, mengobrol, ia lebih memilih berada di atap sekolah bersama biolanya. Sejak saat itu, ia memutuskan bermain biola, padahal sebelumnya ia sangat membencinya.
Ayahnya yang berkebangsaan Perancis menikah dengan ibunya, Kim Misun, musisi terkenal di Korea. Tapi, sayang, keluarga dari pihak ayahnya tak menganggap keberadaannya dan ibunya. Ya, mereka menentang keras pernikahan antarwarga negara itu. Entah apa masalahnya. Menyadari itu, ia menjadi benci dengan musik, terutama Biola. Karena menurutnya, karena ibunyalah—yang sebatangkara—keluarga ayahnya membencinya.
Tapi, semua itu berbalik. Ia selalu membawa biola kemanapun ia pergi—setelah mendengar kenyataan pahit itu. Menurut dokter pribadi ibunya, hidup ibunya tak lama lagi. Bahkan dokter sendiri tidak bisa menaksir sisa umur ibunya, hanya kata ‘tidak lama lagi’. Semua itu terus terngiang. Ah, betapa ia menyesalnya dulu. Selama tujuhbelas tahun hidupnya hidup dengan kebencian terhadap ibunya sandiri. Padahal seharusnya ia menjadi pengobat luka bagi ibunya. Cukup keluarga ayahnya yang membencinya, tidak dengan dirinya.
Setelah hari kelulusan sekolahnya, ia pergi menuju sebuah taman yang jarang dikunjungi. Ia meluapkan segalanya. Memainkan biolanya, sendiri. Lalu setiap hari ia selalu menyinggahi tamannya—ia menganggapnya begitu. Sampai, sosok itu, sosok itu yang tidak sengaja mendengar permainannya. Sosok yang diam-diam juga ikut menikmati alunan biolanya dari kejauhan. Dan entah bagaimana mereka menjadi dekat. Walaupun Aileen masih malu-malu jika mereka hanya berdua di taman itu, apalagi jika sosok itu memuji permainannya.
 Tepukan hangat dibahunya menyentaknya dari kenangan. Ia melihat tangan itu. Lalu memandang Jieun. “Kuharap kau tabah.”

oO0Oo

Sudah seminggu sejak penampilannya di panggung besar itu. Sudah seminggu pula ia menunggu kabar dari sosok itu. Sejak seminggu yang lalu pula ia selalu menunggu di tamannya. Nihil. Tak ada kabar apapun. Ia kembali menggesek biolanya. Meluapkan kegelisahannya, kerinduannya.
Chogiyo. (Permisi.)” Permainannya berhenti. Ia membuka mata. Alisnya menyatu melihat seorang gadis—yang lebih muda darinya—menghampirinya. “Apakah kau Aileen eonni (kakak)?” Aileen mengangguk. Ia melihat gadis itu menghela napas, lalu duduk di bangku taman di depannya. Aileen mengikutinya, duduk di sebelahnya.
“Kau memang cantik. Permainan biolamu juga indah. Seungwoon oppa (kakak) benar.” DEG.. Nama yang diucapkan gadis disampingnya membuatnya menoleh ke arah gadis itu. Menelisik maksud dari perkataannya. “Kau mengenal Seungwoon-ssi?”
“Ya, dia oppa-ku.” Tubuh Aileen membeku. Gadis disebelahnya lagi-lagi membuatnya terkejut. Tapi mengapa justru adiknya yang datang, kenapa bukan kakaknya saja yang menemuinya? “Oppa senang mendengar permainanmu, juga senang melihat wajahmu ketika memainkannya, katanya wajahmu sangat menenangkan hati ketika bermain biola. Awalnya aku tak percaya dengan ucapannya, tapi setelah aku melihatmu memainkan biola tadi, ucapan oppa memang benar. Pantas saja oppa selalu pergi ke sini mendengarkan permainanmu. Dan kurasa ia juga selalu ingin mendengarnya,” kalimat terakhir itu terdengar berbeda.
“Ah, ya, aku lupa memperkenalkan diri. Aku Cho Haneul.” Aileen menjabat tangannya. Ia masih belum berkata. “Oh, aku sangat ingin mendengarkan permainanmu lagi, tapi aku harus pergi. Dan ini..” Gadis itu mengeluarkan sebuah kotak dan menyerahkannya kepada Aileen. Aileen hanya menerimanya, walaupun ia masih bingung maksud gadis di depannya memberinya kotak itu. “Dari Seungwoon oppa. Ia berharap kau selalu bahagia. Aku pergi dulu. Annyeong~” Belum sempat Aileen berkata, gadis itu berlari kecil meninggalkannya. Aileen hanya menatap punggung gadis itu yang semakin menjauh dan menghilang di persimpangan jalan.
Kini perhatiannya terpusat pada kotak yang berada di tangannya. Perlahan ia membuka kotak itu. Hal pertama yang ditemukannya adalah sebuah kertas yang terlipat rapi. Ia mengambil kertas itu dan meletakkan kotak dipangkuannya.
Hai..
Bagaimana kabarmu? Kuharap kau baik-baik saja, dan selalu baik-baik saja. Bagaimana penampilanmu di panggung itu? Pasti sangat indah. Sayangnya aku tidak bisa melihatnya. Maafkan aku, aku tidak menepati janjiku. Karena saat kau berdiri di panggung dan memukau banyak orang, aku harus berada di ruang operasi.
Mungkin kau akan terkejut. Tapi aku minta maaf sebelumnya tidak memberi tahuku sejak awal. Aku hanya tidak ingin membuatmu bertambah sedih. Aku mempunyai sedikit masalah dengan jantungku. Mungkin sebelumnya kau juga mengetahui tetapi tidak menyadarinya. Ingat saat kita pergi ke Namsan Tower? Saat itu kau menaiki tangga sambil berlari. Dan aku berusaha menyamaimu tapi aku justru kelelahan dan kau meledekku lalu kau terpaksa menuruni tangga untuk membantuku. Ya, aku memang payah, seperti katamu saat itu. Aku sendiri membenci diriku yang payah ini. Tapi, Tuhan memberikan kepayahan itu untukku. Aku tidak bisa marah.
Aku tahu cerita ini membuatmu menangis lagi. Tapi kuharap kau tidak menangisiku. Aku baik-baik saja, sungguh. Aku hanya ingin kau terus tersenyum karena senyummu sungguh indah. Aku tidak membual, senyummu memang benar-benar indah. Dan kuyakin semua orang setuju denganku.
Kau tahu, jika operasi kali ini lancar, aku bisa menghadiri panggung-panggungmu yang lainnya. Aku menyesal tidak melihat panggung pertamamu. Tapi aku ingin selalu melihat panggung-panggungmu setelahnya. Aku akan berada di deretan bangku depan. Hahaha.. Kau pasti akan bosan nanti. Baiklah, aku harus masuk ke ruang operasi sekarang. Aku tidak sabar melihat panggung-panggungmu nanti. Tapi, kau harus berjanji. Kau tidak akan bersedih. Kau harus selalu tersenyum. Dan harus bahagia. Walaupun tanpa aku. Kuharap operasi yang kata dokter kemungkinan hidupku tidak sampai setengah persen berjalan lancer. Kau juga berharap begitu kan?
Dan terakhir, na neo saranghae.. (aku mencintaimu)
_Cho Seungwoon

oO0Oo

Lagi lagu itu. Lagu yang terus dimainkannya. Lagu yang selalu dimainkannya. Lagu yang mengingatkannya akan sepotong hatinya yang hilang. Lagu itu terlalu menceritakan hal yang hilang itu. Terlalu banyak kenangan yang ingin terus diulang.
Buliran  kerinduan lepas begitu saja dari sudut matanya. Kedua alisnya yang menyatu sangat jelas bahwa ia hanyut dalam suara biolanya. Matanya selalu terpejam. Bibirnya melengkung ke bawah. Rambut panjang yang terurai disapa angin. Bahkan anginpun semakin memperkuat apa yang dirasakannya.
Ia menyudahi permainannya. Meletakkan kembali biolanya ke dalam tas. Lalu menatap sejenak bangku taman di depannya. Kau sudah lihat permainanku bukan? Bukankah permainanku sekarang bertambah hebat? Baiklah, ayo kita pergi ke panggungku. Aku sudah menyiapkan satu bangku di deretan pertama tepat di depanku untukmu. Dan kau tahu, aku tidak akan bosan dengan kehadiranmu..

Sepotong Hati di Sudut Taman [FULL STORY]
END
©2014.ARAKIDA


Lagi-lagi tolong jangan bully aku dengan ending yang.. ya.. begini.. hehehe.. Oke, silakan berikan komentarnya. *peace Maafkan aku kalau masih ada typo, aku juga manusia biasa yang tak luput dari dosa (jreng jreng..)

Tidak ada komentar:


Kaskus

Only


:ilovekaskus

:iloveindonesia

:kiss

:maho


:najis

:nosara

:marah


:berduka


:malu:

:ngakak

:repost:

:repost2:


:sup2:

:cendolbig

:batabig

:recsel



:takut

:ngacir2:

:shakehand2:

:bingung


:cekpm

:cd

:hammer

:peluk



:toast

:hoax:

:cystg

:dp


:selamat

:thumbup

:2thumbup

:angel


:matabelo


:mewek:

:request

:babyboy:


:babyboy1:

:babymaho

:babyboy2:

:babygirl


:sorry


:kr:

:travel

:nohope


:kimpoi

:ngacir:

:ultah

:salahkamar


:rate5

:cool


:bola


by Pakto


:mewek2:

:rate-5

:supermaho

:4L4Y


:hoax2:


:nyimak

:hotrit

:sungkem


:cektkp

:hope

:Pertamax

:thxmomod


:laper


:siul

:2malu:

:ngintip


:hny

:cendolnya


by misterdarvus


:maintenis:


:maintenis2:

:soccer

:devil


:kr2:

:sunny

Posting Komentar

Menghargai karya orang lain akan mendapat pahala, seperti hal nya mengomentari postingan ini. thx ^_^

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Blue Fire Pointer