Jumat, 13 Juni 2014

CERPEN: Dreams Come True

Assalamu'alaikum..
Masih dalam rangka membagi cerita pendek. Seperti pengantar sebelumnya. Terima kasih bagi yang mau meluangkan waktu berharganya untuk menikmati karya sederhana ini. Terima kasih bagi yang mau mengomentari berupa pendapat, saran maupun kritik yang membangun. Semoga Allah membalas ketulusannya dengan kebaikan. Cerita ini adalah gambaran harapan saya dan sahabat-sahabat saya. Semoga Allah meridhoi cerita ini menjadi nyata. Cerita ini juga saya selesaikan demi janji saya kepada salah seorang sahabat saya, Laely. Semoga kamu puas dengan karya pemula ini. Saya masih fakir kata, jika masih banyak kekeurangan saya mohon maaf. Sebelumnya cerpen ini sudah saya publikasikan ke NOTE FB SAYA. Akhir kata, happy and enjoy reading!^^

Untuk menghargai karya ini, DON'T COPY IN ANOTHER SITE!
















●○◦Dreams Come True◦○●
PRESENT

‘Tulislah mimpimu di atas selembar kertas. Tempel pada tempat yang sering kau amati. Ucapkan berulang kali. Maka mimpi itu akan menjadi nyata.’
                Awalnya aku meragukan rentetan kalimat itu dalam sebuah artikel yang terpajang di mading sekolah beberapa tahun silam. Saat itu, putih abu-abu yang masih melekat ditubuhku, menemaniku mengisi sela waktu istirahat siangku ketika menyambangi kantin sekolah. Sebuah papan besar berbingkai kaca—yang berada di dekat kantin—itu menarik perhatianku. Judul besar penuh warna yang pertama kali membuatku terpaku, ‘Dreams Come True’.
                Judulnya saja membuat manik coklat milikku enggan mengalihkan pandangannya pada tulisan itu. Kubaca kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf dengan sedetail mungkin—seperti sedang menghitung RAB pada tugas keterampilanku. Hingga beberapa kalimat itu yang berhasil menghipnotis-ku.
                Jika saja Yuli, sahabatku, tidak menepuk pundakku, bisa saja aku terus berdiri di koridor tanpa mengalihkan pandanganku dari tulisan itu. Akupun kembali ke kelas setelah itu. Tapi, tulisan itu terus mengganggu pikiranku. Entahlah, ada sedikit rasa yang muncul tiba-tiba dari celah hatiku. Yang jelas saat itu, aku terus mengetuk-ngetukkan ujung sepatuku—yang berhasil menjadi perhatian beberapa temanku.
                Masih hari itu, setelah pulang sekolah, langsung kuambil secarik kertas lalu menulis beberapa kalimat di sana. Ada enambelas nomor, salah satunya ‘kuliah di Korea’. Aku yang termasuk ‘Korean Lovers’ sangat menggilai negeri gingseng itu. Jadi tak ada salahnya jika saat itu aku berharap pergi ke sana. Dan foilaa….
***

                Hujan menyelimuti kota. Siang ini, beberapa orang yang kutemui segera membuka payungnya. Hanya aku yang menggunakan tas ransel hitam untuk menghindari serbuan air langit itu. Lariku semakin cepat, beradu dengan volume air yang semakin besar. Beruntung kutemui halte tak jauh dari langkah pertamaku.
                Kuusap jilbab biru yang kukenakan, merasakan basah akibat serbuan tadi. Aku berdecak kesal. Menyesal karena tidak melihat acara perkiraan cuaca pagi tadi, justru langsung keluar dari apartemen meninggalkan payung hijau yang tergeletak pasrah didekat pintu.
                Sekarang aku harus mencari cara agar aku segera sampai di kampus sebelum dosen—yang termasuk daftar dosen killer menurut mahasiswa di kampusku—tak bersedia menerimaku masuk dalam kelasnya. Sebenarnya tinggal beberapa blok lagi gedung tempatku menimba ilmu itu tampak, tapi hujan ini yang memenjarakanku di halte. Astaghfirullah, bukankah hujan itu berkah?
                Mianhe (maafkan aku). Aku terjebak hujan di jalan.’ SENT. Itu yang terpampang dilayar ponselku. Ya, temanku, Haneul, menanyakan keberadaanku. Awalnya kami membuat janji untuk pergi ke greenhouse bersama sebelum menghadiri kelas siang. Tapi, seperti saat ini, janji tersebut terpaksa harus ditunda dulu.
                Neo eodiya? (kamu di mana?)’. Setelah menjawab pesan itu, tak berapa lama Haneul muncul dengan payung kuning ditangannya. Wajah khas gadis Korea dibalut dengan jilbab jingganya memudahkanku untuk menemukannya diantara puluhan orang yang memadati trotoar. Ia tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arahku yang langsung kubalas dengan hal serupa.
                Deru napasnya yang masih terdengar diantara kata-kata yang terucap dari bibirnya tak menyurutkan senyum diwajahnya. “Kajja! (Ayo pergi!) Masih ada waktu lima belas menit.” Setelah mengatakan itu, ia menarik tubuhku ke bawah payungnya. Langkah kami terasa ringan. Wajahku yang semula muram berubah tenang, bahkan bibir tipisku terus terangkat.
***

                Annyeong haseyo. Joneun Melly imnida. Bangapseumnida. (Halo. Saya Melly. Senang bertemu denganmu.)” Masih tergiang ucapanku saat kali pertama menginjakkan kaki di negeri ini. Seorang teman yang menjadi teman pertamaku, Haneul, tersenyum ramah kala itu setelah mendengarkan perkenalan singkat yang sedikit kaku dariku. Gadis berjilbab itu sempat membuatku kagum saat pertemuan pertama kali kami. Seorang gadis berjilbab itu sudah biasa. Wajah seperti milik Yoona SNSD, salah satu girlband Korea, sudah biasa. Tapi jika keduanya digabung itu yang berhasil membuatku berdecak kagum.
                Gadis itu bisa berjuang di dalam negaranya sendiri—yang minoritas muslim—membuatku malu pada diri sendiri. Keteguhannya dalam berjilbab dan menjadi seorang mualaf membuatku menitikkan airmata bahagia. Bagaimana tidak? Seperti yang kukatakan tadi, minoritas muslim, lalu mencari makanan halal di sini sangatlah sulit. Sangat berbanding terbalik dengan makanan berbahan daging babi yang bisa ditemukan di mana saja. Bisa saja kita memilih daging sapi, tapi melihat kantong yang tak seberapa isinya, membuatku memilih memakan makanan berbahan sayuran atau jika ingin menyantap daging, daging ayamlah yang kupilih.
                Untuk makanan sendiri aku masih belum terbiasa dengan makanan khas Korea. Apalagi kimci, fermentasi dari sayuran. Makan nasi goreng saja  aku selalu menyisihkan acar timun dari piringku. Paling cepat beradaptasi dengan lidahku adalah tteokbokki, kue beras rebus yang dipotong-potong dan disajikan dengan saus pedas yang sudah dibumbui. Itu karena aku penggila makanan pedas. Biasanya aku membelinya di kedai pinggir jalan. Hanya saja, aku harus lebih hati-hati jika sedang berada di sana, apalagi jika malam hari. Kebiasaan masyarakat Korea tentang minuman keras sudah menjadi rahasia umum. Orang-orang di sini senang menegak soju, arak beras Korea, dengan teman ataupun teman spesial mereka di kedai ini.
                Oh, membicarakan makanan aku jadi lapar. Lima menit yang lalu aku memesan Jjajangmyeon. Mie khas Korea yang dicampur dengan saus kedelai hitam kental, sayuran serta daging ini menjadi menu makan malamku.
                Malam ini aku masih ditemani laptop mengerjakan tugas kuliahku. Perihal tentang keterlambatanku siang tadi, beruntung sang dosen harus menemui tamunya dulu baru setelah itu mengisi kelasnya. Dan akupun baru menyadari bahwa hujan adalah berkah. Mungkin jika siang hari tidak ada hujan dosenku sudah selesai menemani tamunya. Atau mungkin tiba-tiba saja sang dosen memulai kelasnya lebih pagi dan mengakhirinya dengan cepat. Kemungkinan itu bisa saja terjadi bukan?
                Tet… Akupun beranjak dari dudukku dan menghampiri interchrome, melihat kedatangan seseorang di balik pintu. Cacing-cacing yang tengah menggelar konser diperutku sungguh beruntung. Pria pengantar jjajangmyeon telah datang. Segera kubuka pintu, melakukan transaksi pembayaran lalu menutupnya kembali. Kusingkirkan laptop yang tengah duduk manis di atas meja. Kemudian piring yang terbuat dari sterofoam itu mengambil alih tempat laptop tadi. Membuka plastik penutupnya lalu pergi ke dapur untuk mengambil garpu—karena aku lebih suka makan mie menggunakan garpu daripada sumpit. Aroma jjajangmyeon memenuhi apartemenku yang terbilang kecil.
***

                “Melly-ah. Neo gwanchana? (Kamu tidak apa-apa?).” Telapak tangan Haneul bergerak di depan wajahku. Aku mengerjapkan mata. Helaan napas keluar begitu saja. Aku tersenyum lalu menatapnya, “eo, nan gwaenchana (aku tidak apa-apa).”
                Haneul yang tengah mengamati tanaman yang tak jauh dari tempatku, mendekatiku. Mengambil posisi duduk di sebelahku. Udara pagi ini cukup segar. Aku dan Haneul sering kemari. Sebuah taman yang jarang dikunjungi menjadi tempat favorit kami. Mungkin karena suasananya yang tenang. Apalagi ditambah dengan beraneka ragam tanaman yang menambah kesan menyegarkan.
                Musun mariya? (ada apa?),” telisiknya yang melihatku kembali ke dalam lamunan. Aku hanya memamerkan senyum tipis. Aku suka cara Haneul ketika mengkhawatirkanku. Masih teringat beberapa hari pertamaku di Korea. Saat itu, aku yang belum terlalu mahir berbicara dengan bahasa Korea mengalami kendala bahasa ketika sedang membeli bahan makanan di sebuah pasar tradisional. Bisa saja aku berbicara dengan bahasa internasional—Inggris—hanya saja warga lokal memang tidak terlalu mengerti apa yang kuucapkan. Beruntung Haneul membantuku, aku hanya diam saja setelah itu, membiarkan Haneul mengambil alih semuanya.
                “Hanya merindukan tanah airku,” ujarku sambil melihat bunga ceri. Aku menghela napas. Menengadahkan kepalaku menikmati semilir angin yang membelai wajahku. Kemudian memejamkan mataku, membayangkan sedang berada di Pantai Ayah—yang dulu pernah kukunjungi bersama keluarga.
                Hening. Kami terlalu larut dalam keheningan. Tenggelam bersama pikiran kami masing-masing. Lagi-lagi aku menghela napas. Perlahan kubuka kelopak mataku. Bayangan Haneul yang ternyata tengah memejamkan matanya—sama sepertiku tadi—menjadi yang pertama kulihat.
                “Aku juga merindukan keluargaku di Mokpo. Walaupun masih dalam satu Negara, tapi seperti di belahan dunia yang berbeda. Aku merindukan eomma (ibu) dan eonni (kakak perempuan).” Kini ia membuka matanya. Mengalihkan pandangannya ke arahku. “Rasanya sulit ya, tapi kita harus bisa melaluinya. Dan aku yakin kamu pasti bisa.” Setelah mengatakan itu ia berpamitan kepadaku, katanya ia harus ke perpustakaan, ada materi yang harus dicarinya. Sedangkan aku, memilih untuk kembali ke apartemen mengingat tak ada lagi kelas untuk hari ini.
                Kulangkahkan kakiku melewati pintu gerbang kampus. Menyusuri trotoar yang masih dipenuhi beberapa pejalan kaki. Aku memilih pulang jalan kaki daripada menaiki bus. Entahlah, hanya ingin mengontrol rasa rinduku dengan menghibur diri saja.
                Beberapa toko yang kulewati cukup ramai. Hanya beberapa saja yang sedikit pengunjungnya, terlebih toko peralatan olahraga. Kulihat seorang ibu dengan anaknya tengah menikmati makan siangnya di sebuah rumah makan yang kulalui. Tampak keduanya asyik dalam perbincangan dan saling menukar senyum. Ah, lagi-lagi rasa rinduku kembali mencuat.
                Tiba-tiba ada yang menyenggol bahu kananku, membuat beberapa buku yang kubawa berjatuhan. Ada sepasang tangan yang membantuku mengambilnya. “Jeoseonghamnida (maafkan aku),” terdengar suara perempuan yang terengah-engah. Akupun menerima bukuku yang diberikannya kemudian mengangkat kepalaku.
                “Leni?” tanyaku ragu. Tampak gadis di depanku tersenyum lebar. Iapun langsung memelukku. “Melly? Sudah lama kita nggak ketemu. Apa kabar? Kamu sekarang tinggal di mana?” serentetan pertanyaan keluar dari mulutnya. Aku tersenyum menanggapinya.
                Akhirnya kami memutuskan untuk singgah dulu di kafe yang tak jauh dari tempat insiden tadi. Melepas rindu satu sama lain. Berbagi cerita dan canda. “Kamu kok sekarang kurusan ya, Mel.” Aku hanya tertawa mendengarnya.
                “Mungkin efek dari jalan kaki apartemen-kampus,” candaku diakhiri tawa. Tak kusadari ada lelehan rindu yang siap keluar dari pelupuk mata. Dan ya, karena bantuan angin berhasil melonggarkan bendungan disudut mata. Alhasil, Leni cukup terkejut melihat airmataku yang meluncur bebas tanpa permisi.
                “Kenapa? Apa ada yang salah?” suaranya terdengar panik. Aku menenangkannya. Meyakinkan bahwa ini terjadi begitu saja. Mungkin karena menyesali kebodohanku dulu saat kali pertama menginjakkan kaki di sini. Aku kehilangan kontak dengannya. Dan waktu yang cukup lama itu membuatku terkadang menyalahkan diri sendiri. Kebodohanku tidak cukup sampai disitu. Aku tidak berusaha mencarinya dengan mendatangi kampusnya—yang berbeda denganku—karena kelemahanku dalam bahasa di sini. Haneul, bukankah dia bisa membantuku? Aku terlalu tidak enak untuk memintanya. Sudah cukup ia membantuku selama ini. Oleh karena itu, pertemuan yang tak disengaja ini berhasil meluluhkan airmataku. Seperti mendapat jackpot. Alhamdulillah…
***

                Yuli membangunkanku dari tidur lelapku di atas meja. “Pak guru dari tadi ngeliatin kita mulu,” bisiknya sambil berpura-pura menulis materi pelajaran. Akupun menegakkan kembali tubuhku. Mengikuti apa yang dilakukannya. Aku memang mudah sekali tertidur saat pelajaran sejarah. Bukan, bukan karena aku membencinya, tapi cara pembelajarannya yang terlampau membuat kelopak mataku enggan terbuka.
                Saat ini materi yang sedang diajarkan adalah Perang Dunia pertama. Pak guru bercerita panjang lebar. Terlalu lebar, padahal ia tahu sendiri bahwa jam pelajarannya hanya satu jam pelajaran. Baru saja berganti halaman, bel nyaring dengan tidak sopannya menghentikan ceritanya. Aku menguap lebar, kali ini aku benar-benar tenggelam dalam tidurku. Sebelum larut dalam tidurku, aku sempat mendengar omelan kecil Yuli karena lagi-lagi ia harus pergi ke kantin sendirian.
                “Mel, kamu udah daftar SNMPTN belum?” suara itu membangunkanku setelah beberapa saat yang lalu aku mengembara dalam bunga tidurku. Aku hanya menggeliat pelan sebagai balasannya. Kurasakan tubuhku tergoncang, seperti ada seseorang yang memang sengaja melakukannya. Akhirnya akupun menyerah, kubuka mataku. Oh, benar dugaanku, itu Dina.
                “Belum, Din. Masih bingung mau ambil jurusan apa. Mana sama bapak nggak boleh keluar kota. Tau sendiri kan, kemarin aku buka website-nya, aku nggak bisa milih jurusan sastra indo, disuruh pertanian aja. Ah, nggak tau lah, jadi males ngomongin itu,” ceritaku menggebu-nggebu. Dina yang sedari tadi berdiri di depanku kini mengambil posisi duduk di sebelahku.
                “Jangan kayak gitu, Mel. Ikuti aja saran orangtua, mungkin itu yang terbaik. Inget, ridhonya ortu itu ridho Allah juga, lho,” jelasnya lalu mencomot kue kering yang tadi ia letakkan di atas meja. “Kalo aku, kayaknya nggak jadi ambil SNMPTN deh.” Seketika itu juga mataku melebar. Tubuhku tegak. Lalu menolehkan kepala ke arahnya. Mataku tajam menelisir kesungguhan perkataannya.
                “Jangan bercanda, deh,” kekehan kecil keluar dari mulutku. Tapi kemudian berhenti ketika tak kudengar sepatah katapun darinya. Biasanya jika ia meledekku ia pasti akan menambah-nambahkan semua perkataannya.
                “Jadi bener? Trus, kamu mau ikut apa?” tanyaku kemudian. Ia menghabiskan kue keringnya, lalu meneguk air mineral. Setelah itu ia menyuarakan pendapatnya, “SPAN. Tapi masih belum yakin sih. Eh, menurutmu kalo aku nanti jadi guru SKI gimana?”
                Lagi-lagi pernyataannya membuatku terkejut. “Kamu serius? Kamu nggak lagi sakit, kan? Ah, nggak panas kok,” rancauku setelah menempelkan telapak tangan ke keningnya. “Ya, Allah. Emang ada yang salah ya sama pilihanku?” ujarnya sambil memutar bola matanya.
                Aku tertawa. Malu. “Enggak sih. Cuma kok bisa gitu kamu punya pemikiran kesitu.” Aku membalikkan kepalaku ke arah depan kelas. Tampak sepi, hanya ada beberapa temanku yang sedang asyik dengan kegiatan mereka masing-masing. “Maksudku, kalo memang kamu mau ambil jurusan agama bisa aja kamu pilih PAI atau Bahasa Arab mungkin, jadi penerus Pak Joni, hehehe..”
***

                “Mel, lihat, deh. Ini mahasiswa Indonesia di Korea.” Mendengar kata ‘Korea’ akupun menghentikan kegiatan membacaku. Padahal sedari tadi banyak temanku yang mengusik acara membaca novelku, justru hanya satu kata itu yang bisa mengalihkanku. Kuletakkan novel itu ke sembarang tempat bergegas menghampirinya.
                “Yang bener, Len? Wah, daebak! (hebat!) Keren banget tuh.” Seperti ada puluhan berlian di mataku. Dan puluhan kupu-kupu biston mengitariku. Lalu puluhan pelangi tampak di langit sambil tersenyum padaku.
                “Mahasiswa ini ambil S2 di sana. Tahu, nggak? Dia lulusan UIN Yogya, lho.” Perkataannya itu kembali membuatku kagum. “Dapet beasiswa pula. Bener-bener keren, ya? Mau nggak kayak gitu?” mendengar pertanyaan Leni akupun langsung antusias. Mengangguk cepat seperti anak kecil yang sedang ditawari es krim. “TOEFL-mu harus diatas limaratus.”
                Limaratus? Ah, sepertinya mustahil. Ulangan Bahasa Inggris saja seperti itu. Apalagi nilai UN-ku untuk mata pelajaran itu benar-benar diluar target. Oh, apakah aku harus mengubur mimpi itu begitu saja?
                “Bisa, Mel. Jangan merengut gitu, dong.” Kali ini bukan suara Leni. “Semua pasti bisa asalkan kita berusaha. Ingat, kan, pepatah arab, Man Jadda Wa Jadda? Barang siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan mendapatkannya.”
                “Kamu sih enak ya, Fa. Udah diterima di Poltekes. Bener-bener seperti impianmu, kan?” bahuku menurun setelah aku menghela napas. Sorot mataku tiba-tiba kehilangan cahayanya. Napasku juga seperti diburu rasa takutku.
                “Kok, ngomongnya jadi kesitu?” tanyanya lalu menatap manik mataku tajam. Tatapannya lalu menjadi lembut. “Nah, kamu tahu sendiri, kan, aku bisa menangkap mimpiku. Kamu juga tahu sebelum aku dinyatakan diterima disana banyak rintangan yang harus kuhadapi. Masih ingat, kan, ceritaku beberapa bulan sebelum pengumuman penerimaanku?” Aku mengangguk. “Banyak yang melihat sebelah mata keseriusanku untuk masuk ke sana. Tapi lihat? Sekarang aku benar-benar berada dekat dengan mimpiku. Itu karena aku menyakinkan diriku bahwa segala sesuatu bisa saja terjadi. Sesuatu yang mustahilpun bisa terjadi jika kita terus berusaha. Ah, masih ingat cerita tentang James Watt, kan?”
                “Iya, Mel. Yakin deh kamu bisa. Ingat, setelah kelulusan S1 kita ketemu di bandara Incheon ya?” ujar Leni lalu merengkuh bahuku. Perbincanganpun beralih tentang hal lain—masih seputar Korea. Tak lama Yuli dan Dina ikut bergbung ke dalam perbincangan kami. Ikut berbagi tawa.
                Setelah perbincangan ringan itu tak ada yang bisa menduga kejadian yang menunggu di depan mata. Aku dan Leni diterima SNMPTN, sedangkan Dina benar-benar akan menjadi mahasiswi jurusan Sejarah dan Peradaban Islam di ibukota. Lain hal dengan Yuli, setelah satu bulan melahap soal SBMPTN iapun menjadi calon mahasiswa di sebuah perguruan tinggi yang diimpikannya. Kami semua benar-benar terpisah oleh jarak. Tapi tak masalah dengan komunikasi yang terus terjalin.
                Hingga waktu itu tiba. Waktu di mana aku benar-benar telah menyelesaikan skripsiku dan sidangku. Dan hari ini aku akan diwisuda. Akupun di antar oleh bapakku. Ada rasa haru yang membuncah. Ternyata benar perkataan Dina, mungkin ini sudah jalanku dan ini berkat ridho bapak juga ridho-Nya. Akupun mendapat gelar sarjana pertanian. Betapa bahagianya aku. Dan akupun mendengar berita bahagia lainnya dari para sahabatku. Cairan bening dari sudut matakupun meleleh. Subhanallah, rencana-Mu memang dasyat.
***
                Selamat anda mendapat beasiswa S2 di Seoul National University. Mataku terbelalak. Mulutku membentuk huruf ‘o’. Tubuhku lemas. Akupun sujud syukur, benar-benar berterima kasih kepada Sang Pembuat Rencana Indah. Oh, lagi-lagi airmataku merembes keluar tanpa permisi. Akupun memberi kabar kepada orangtua yang langsung disambut bahagia dan rasa syukur. Tak lupa kukabari sahabat-sahabatku. Dan satu hal yang dulu kuanggap mustahil dan hanya perkataan sang pengukir mimpi, Leni, ya, sahabatku yang pernah membuat janji akan bertemu di bandara Incheon itu, benar-benar akan menepati janjinya. Lagi kubersujud. Menangis dalam kebahagiaan yang terus mendatangiku. Rencana-Mu sungguh indah, ya Rabb.
                “Kamu kok sekarang kurusan ya, Mel.” Aku hanya tertawa mendengarnya.
                “Mungkin efek dari jalan kaki apartemen-kampus,” candaku diakhiri tawa. Tak kubendung lagi, airmataku membasahi pipiku. Subhanallah, terus kuucapkan tanpa bosan. Terima kasih ya Allah. Sungguh aku tak tahu lagi bagaimana harus berkata untuk hadiah terindah dari-Mu. Mempunyai orangtua yang meridhoiku untuk berjalan menuju kebahagian ini. Para sahabatku yang selalu setia bersamaku dan memberiku semangat tuk menapaki jalan menuju kebahagiaan ini. Dan tentunya Engkau ya Rabb, yang telah merencanakan semua hal Maha Dasyat ini. Tak kuasa untuk membayar ini semua. Aku hanya bisa menjadi hamba-Mu yang masih belajar untuk terus mencintai-Mu.

END
©Arakida.2014

Tidak ada komentar:


Kaskus

Only


:ilovekaskus

:iloveindonesia

:kiss

:maho


:najis

:nosara

:marah


:berduka


:malu:

:ngakak

:repost:

:repost2:


:sup2:

:cendolbig

:batabig

:recsel



:takut

:ngacir2:

:shakehand2:

:bingung


:cekpm

:cd

:hammer

:peluk



:toast

:hoax:

:cystg

:dp


:selamat

:thumbup

:2thumbup

:angel


:matabelo


:mewek:

:request

:babyboy:


:babyboy1:

:babymaho

:babyboy2:

:babygirl


:sorry


:kr:

:travel

:nohope


:kimpoi

:ngacir:

:ultah

:salahkamar


:rate5

:cool


:bola


by Pakto


:mewek2:

:rate-5

:supermaho

:4L4Y


:hoax2:


:nyimak

:hotrit

:sungkem


:cektkp

:hope

:Pertamax

:thxmomod


:laper


:siul

:2malu:

:ngintip


:hny

:cendolnya


by misterdarvus


:maintenis:


:maintenis2:

:soccer

:devil


:kr2:

:sunny

Posting Komentar

Menghargai karya orang lain akan mendapat pahala, seperti hal nya mengomentari postingan ini. thx ^_^

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Blue Fire Pointer