Masih dalam rangka membagi cerita pendek. Seperti pengantar sebelumnya. Terima kasih bagi yang mau meluangkan waktu berharganya untuk menikmati karya sederhana ini. Terima kasih bagi yang mau mengomentari berupa pendapat, saran maupun kritik yang membangun. Semoga Allah membalas ketulusannya dengan kebaikan. Cerita ini adalah gambaran harapan saya dan sahabat-sahabat saya. Semoga Allah meridhoi cerita ini menjadi nyata. Cerita ini juga saya selesaikan demi janji saya kepada salah seorang sahabat saya, Laely. Semoga kamu puas dengan karya pemula ini. Saya masih fakir kata, jika masih banyak kekeurangan saya mohon maaf. Sebelumnya cerpen ini sudah saya publikasikan ke NOTE FB SAYA. Akhir kata, happy and enjoy reading!^^
Untuk menghargai karya ini, DON'T COPY IN ANOTHER SITE!
●○◦Dreams Come True◦○●
PRESENT
‘Tulislah mimpimu di atas
selembar kertas. Tempel pada tempat yang sering kau amati. Ucapkan berulang
kali. Maka mimpi itu akan menjadi nyata.’
Awalnya
aku meragukan rentetan kalimat itu dalam sebuah artikel yang terpajang di
mading sekolah beberapa tahun silam. Saat itu, putih abu-abu yang masih melekat
ditubuhku, menemaniku mengisi sela waktu istirahat siangku ketika menyambangi
kantin sekolah. Sebuah papan besar berbingkai kaca—yang berada di dekat
kantin—itu menarik perhatianku. Judul besar penuh warna yang pertama kali
membuatku terpaku, ‘Dreams Come True’.
Judulnya
saja membuat manik coklat milikku enggan mengalihkan pandangannya pada tulisan
itu. Kubaca kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf dengan
sedetail mungkin—seperti sedang menghitung RAB pada tugas keterampilanku.
Hingga beberapa kalimat itu yang berhasil menghipnotis-ku.
Jika
saja Yuli, sahabatku, tidak menepuk pundakku, bisa saja aku terus berdiri di
koridor tanpa mengalihkan pandanganku dari tulisan itu. Akupun kembali ke kelas
setelah itu. Tapi, tulisan itu terus mengganggu pikiranku. Entahlah, ada
sedikit rasa yang muncul tiba-tiba dari celah hatiku. Yang jelas saat itu, aku
terus mengetuk-ngetukkan ujung sepatuku—yang berhasil menjadi perhatian
beberapa temanku.
Masih
hari itu, setelah pulang sekolah, langsung kuambil secarik kertas lalu menulis
beberapa kalimat di sana. Ada enambelas nomor, salah satunya ‘kuliah di Korea’.
Aku yang termasuk ‘Korean Lovers’ sangat menggilai negeri gingseng itu. Jadi
tak ada salahnya jika saat itu aku berharap pergi ke sana. Dan foilaa….
***
Hujan
menyelimuti kota. Siang ini, beberapa orang yang kutemui segera membuka payungnya.
Hanya aku yang menggunakan tas ransel hitam untuk menghindari serbuan air
langit itu. Lariku semakin cepat, beradu dengan volume air yang semakin besar.
Beruntung kutemui halte tak jauh dari langkah pertamaku.
Kuusap
jilbab biru yang kukenakan, merasakan basah akibat serbuan tadi. Aku berdecak
kesal. Menyesal karena tidak melihat acara perkiraan cuaca pagi tadi, justru
langsung keluar dari apartemen meninggalkan payung hijau yang tergeletak pasrah
didekat pintu.
Sekarang
aku harus mencari cara agar aku segera sampai di kampus sebelum dosen—yang
termasuk daftar dosen killer menurut
mahasiswa di kampusku—tak bersedia menerimaku masuk dalam kelasnya. Sebenarnya
tinggal beberapa blok lagi gedung tempatku menimba ilmu itu tampak, tapi hujan
ini yang memenjarakanku di halte. Astaghfirullah, bukankah hujan itu berkah?
‘Mianhe (maafkan aku). Aku terjebak hujan
di jalan.’ SENT. Itu yang terpampang dilayar ponselku. Ya, temanku, Haneul,
menanyakan keberadaanku. Awalnya kami membuat janji untuk pergi ke greenhouse bersama sebelum menghadiri
kelas siang. Tapi, seperti saat ini, janji tersebut terpaksa harus ditunda
dulu.
‘Neo eodiya? (kamu di mana?)’. Setelah
menjawab pesan itu, tak berapa lama Haneul muncul dengan payung kuning
ditangannya. Wajah khas gadis Korea dibalut dengan jilbab jingganya
memudahkanku untuk menemukannya diantara puluhan orang yang memadati trotoar.
Ia tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arahku yang langsung kubalas
dengan hal serupa.
Deru
napasnya yang masih terdengar diantara kata-kata yang terucap dari bibirnya tak
menyurutkan senyum diwajahnya. “Kajja!
(Ayo pergi!) Masih ada waktu lima belas menit.” Setelah mengatakan itu, ia
menarik tubuhku ke bawah payungnya. Langkah kami terasa ringan. Wajahku yang
semula muram berubah tenang, bahkan bibir tipisku terus terangkat.
***
“Annyeong haseyo. Joneun Melly imnida.
Bangapseumnida. (Halo. Saya Melly. Senang bertemu denganmu.)” Masih
tergiang ucapanku saat kali pertama menginjakkan kaki di negeri ini. Seorang
teman yang menjadi teman pertamaku, Haneul, tersenyum ramah kala itu setelah
mendengarkan perkenalan singkat yang sedikit kaku dariku. Gadis berjilbab itu
sempat membuatku kagum saat pertemuan pertama kali kami. Seorang gadis
berjilbab itu sudah biasa. Wajah seperti milik Yoona SNSD, salah satu girlband Korea, sudah biasa. Tapi jika
keduanya digabung itu yang berhasil membuatku berdecak kagum.
Gadis
itu bisa berjuang di dalam negaranya sendiri—yang minoritas muslim—membuatku
malu pada diri sendiri. Keteguhannya dalam berjilbab dan menjadi seorang mualaf
membuatku menitikkan airmata bahagia. Bagaimana tidak? Seperti yang kukatakan
tadi, minoritas muslim, lalu mencari makanan halal di sini sangatlah sulit. Sangat
berbanding terbalik dengan makanan berbahan daging babi yang bisa ditemukan di
mana saja. Bisa saja kita memilih daging sapi, tapi melihat kantong yang tak
seberapa isinya, membuatku memilih memakan makanan berbahan sayuran atau jika
ingin menyantap daging, daging ayamlah yang kupilih.
Untuk
makanan sendiri aku masih belum terbiasa dengan makanan khas Korea. Apalagi
kimci, fermentasi dari sayuran. Makan nasi goreng saja aku selalu menyisihkan acar timun dari
piringku. Paling cepat beradaptasi dengan lidahku adalah tteokbokki, kue beras rebus yang dipotong-potong dan disajikan
dengan saus pedas yang sudah dibumbui. Itu karena aku penggila makanan pedas.
Biasanya aku membelinya di kedai pinggir jalan. Hanya saja, aku harus lebih
hati-hati jika sedang berada di sana, apalagi jika malam hari. Kebiasaan
masyarakat Korea tentang minuman keras sudah menjadi rahasia umum. Orang-orang
di sini senang menegak soju, arak
beras Korea, dengan teman ataupun teman spesial mereka di kedai ini.
Oh,
membicarakan makanan aku jadi lapar. Lima menit yang lalu aku memesan Jjajangmyeon. Mie khas Korea yang dicampur
dengan saus kedelai hitam kental, sayuran serta daging ini menjadi menu makan
malamku.
Malam
ini aku masih ditemani laptop mengerjakan tugas kuliahku. Perihal tentang
keterlambatanku siang tadi, beruntung sang dosen harus menemui tamunya dulu
baru setelah itu mengisi kelasnya. Dan akupun baru menyadari bahwa hujan adalah
berkah. Mungkin jika siang hari tidak ada hujan dosenku sudah selesai menemani
tamunya. Atau mungkin tiba-tiba saja sang dosen memulai kelasnya lebih pagi dan
mengakhirinya dengan cepat. Kemungkinan itu bisa saja terjadi bukan?
Tet…
Akupun beranjak dari dudukku dan menghampiri interchrome, melihat kedatangan seseorang di balik pintu.
Cacing-cacing yang tengah menggelar konser diperutku sungguh beruntung. Pria
pengantar jjajangmyeon telah datang.
Segera kubuka pintu, melakukan transaksi pembayaran lalu menutupnya kembali. Kusingkirkan
laptop yang tengah duduk manis di atas meja. Kemudian piring yang terbuat dari sterofoam itu mengambil alih tempat
laptop tadi. Membuka plastik penutupnya lalu pergi ke dapur untuk mengambil
garpu—karena aku lebih suka makan mie menggunakan garpu daripada sumpit. Aroma jjajangmyeon memenuhi apartemenku yang
terbilang kecil.
***
“Melly-ah. Neo gwanchana? (Kamu tidak
apa-apa?).” Telapak tangan Haneul bergerak di depan wajahku. Aku mengerjapkan
mata. Helaan napas keluar begitu saja. Aku tersenyum lalu menatapnya, “eo, nan
gwaenchana (aku tidak apa-apa).”
Haneul
yang tengah mengamati tanaman yang tak jauh dari tempatku, mendekatiku.
Mengambil posisi duduk di sebelahku. Udara pagi ini cukup segar. Aku dan Haneul
sering kemari. Sebuah taman yang jarang dikunjungi menjadi tempat favorit kami.
Mungkin karena suasananya yang tenang. Apalagi ditambah dengan beraneka ragam
tanaman yang menambah kesan menyegarkan.
“Musun mariya? (ada apa?),” telisiknya
yang melihatku kembali ke dalam lamunan. Aku hanya memamerkan senyum tipis. Aku
suka cara Haneul ketika mengkhawatirkanku. Masih teringat beberapa hari
pertamaku di Korea. Saat itu, aku yang belum terlalu mahir berbicara dengan
bahasa Korea mengalami kendala bahasa ketika sedang membeli bahan makanan di
sebuah pasar tradisional. Bisa saja aku berbicara dengan bahasa
internasional—Inggris—hanya saja warga lokal memang tidak terlalu mengerti apa
yang kuucapkan. Beruntung Haneul membantuku, aku hanya diam saja setelah itu,
membiarkan Haneul mengambil alih semuanya.
“Hanya
merindukan tanah airku,” ujarku sambil melihat bunga ceri. Aku menghela napas. Menengadahkan
kepalaku menikmati semilir angin yang membelai wajahku. Kemudian memejamkan
mataku, membayangkan sedang berada di Pantai Ayah—yang dulu pernah kukunjungi
bersama keluarga.
Hening.
Kami terlalu larut dalam keheningan. Tenggelam bersama pikiran kami masing-masing.
Lagi-lagi aku menghela napas. Perlahan kubuka kelopak mataku. Bayangan Haneul
yang ternyata tengah memejamkan matanya—sama sepertiku tadi—menjadi yang
pertama kulihat.
“Aku
juga merindukan keluargaku di Mokpo. Walaupun masih dalam satu Negara, tapi
seperti di belahan dunia yang berbeda. Aku merindukan eomma (ibu) dan eonni
(kakak perempuan).” Kini ia membuka matanya. Mengalihkan pandangannya ke
arahku. “Rasanya sulit ya, tapi kita harus bisa melaluinya. Dan aku yakin kamu
pasti bisa.” Setelah mengatakan itu ia berpamitan kepadaku, katanya ia harus ke
perpustakaan, ada materi yang harus dicarinya. Sedangkan aku, memilih untuk
kembali ke apartemen mengingat tak ada lagi kelas untuk hari ini.
Kulangkahkan
kakiku melewati pintu gerbang kampus. Menyusuri trotoar yang masih dipenuhi
beberapa pejalan kaki. Aku memilih pulang jalan kaki daripada menaiki bus.
Entahlah, hanya ingin mengontrol rasa rinduku dengan menghibur diri saja.
Beberapa
toko yang kulewati cukup ramai. Hanya beberapa saja yang sedikit pengunjungnya,
terlebih toko peralatan olahraga. Kulihat seorang ibu dengan anaknya tengah
menikmati makan siangnya di sebuah rumah makan yang kulalui. Tampak keduanya
asyik dalam perbincangan dan saling menukar senyum. Ah, lagi-lagi rasa rinduku
kembali mencuat.
Tiba-tiba
ada yang menyenggol bahu kananku, membuat beberapa buku yang kubawa berjatuhan.
Ada sepasang tangan yang membantuku mengambilnya. “Jeoseonghamnida (maafkan
aku),” terdengar suara perempuan yang terengah-engah. Akupun menerima bukuku
yang diberikannya kemudian mengangkat kepalaku.
“Leni?”
tanyaku ragu. Tampak gadis di depanku tersenyum lebar. Iapun langsung memelukku.
“Melly? Sudah lama kita nggak ketemu. Apa kabar? Kamu sekarang tinggal di
mana?” serentetan pertanyaan keluar dari mulutnya. Aku tersenyum menanggapinya.
Akhirnya
kami memutuskan untuk singgah dulu di kafe yang tak jauh dari tempat insiden
tadi. Melepas rindu satu sama lain. Berbagi cerita dan canda. “Kamu kok
sekarang kurusan ya, Mel.” Aku hanya tertawa mendengarnya.
“Mungkin
efek dari jalan kaki apartemen-kampus,” candaku diakhiri tawa. Tak kusadari ada
lelehan rindu yang siap keluar dari pelupuk mata. Dan ya, karena bantuan angin
berhasil melonggarkan bendungan disudut mata. Alhasil, Leni cukup terkejut
melihat airmataku yang meluncur bebas tanpa permisi.
“Kenapa?
Apa ada yang salah?” suaranya terdengar panik. Aku menenangkannya. Meyakinkan
bahwa ini terjadi begitu saja. Mungkin karena menyesali kebodohanku dulu saat
kali pertama menginjakkan kaki di sini. Aku kehilangan kontak dengannya. Dan
waktu yang cukup lama itu membuatku terkadang menyalahkan diri sendiri. Kebodohanku
tidak cukup sampai disitu. Aku tidak berusaha mencarinya dengan mendatangi
kampusnya—yang berbeda denganku—karena kelemahanku dalam bahasa di sini. Haneul,
bukankah dia bisa membantuku? Aku terlalu tidak enak untuk memintanya. Sudah
cukup ia membantuku selama ini. Oleh karena itu, pertemuan yang tak disengaja
ini berhasil meluluhkan airmataku. Seperti mendapat jackpot. Alhamdulillah…
***
Yuli
membangunkanku dari tidur lelapku di atas meja. “Pak guru dari tadi ngeliatin
kita mulu,” bisiknya sambil berpura-pura menulis materi pelajaran. Akupun
menegakkan kembali tubuhku. Mengikuti apa yang dilakukannya. Aku memang mudah
sekali tertidur saat pelajaran sejarah. Bukan, bukan karena aku membencinya,
tapi cara pembelajarannya yang terlampau membuat kelopak mataku enggan terbuka.
Saat
ini materi yang sedang diajarkan adalah Perang Dunia pertama. Pak guru
bercerita panjang lebar. Terlalu lebar, padahal ia tahu sendiri bahwa jam
pelajarannya hanya satu jam pelajaran. Baru saja berganti halaman, bel nyaring
dengan tidak sopannya menghentikan ceritanya. Aku menguap lebar, kali ini aku
benar-benar tenggelam dalam tidurku. Sebelum larut dalam tidurku, aku sempat
mendengar omelan kecil Yuli karena lagi-lagi ia harus pergi ke kantin
sendirian.
“Mel,
kamu udah daftar SNMPTN belum?” suara itu membangunkanku setelah beberapa saat
yang lalu aku mengembara dalam bunga tidurku. Aku hanya menggeliat pelan
sebagai balasannya. Kurasakan tubuhku tergoncang, seperti ada seseorang yang
memang sengaja melakukannya. Akhirnya akupun menyerah, kubuka mataku. Oh, benar
dugaanku, itu Dina.
“Belum,
Din. Masih bingung mau ambil jurusan apa. Mana sama bapak nggak boleh keluar
kota. Tau sendiri kan, kemarin aku buka website-nya, aku nggak bisa milih
jurusan sastra indo, disuruh pertanian aja. Ah, nggak tau lah, jadi males
ngomongin itu,” ceritaku menggebu-nggebu. Dina yang sedari tadi berdiri di
depanku kini mengambil posisi duduk di sebelahku.
“Jangan
kayak gitu, Mel. Ikuti aja saran orangtua, mungkin itu yang terbaik. Inget,
ridhonya ortu itu ridho Allah juga, lho,” jelasnya lalu mencomot kue kering
yang tadi ia letakkan di atas meja. “Kalo aku, kayaknya nggak jadi ambil SNMPTN
deh.” Seketika itu juga mataku melebar. Tubuhku tegak. Lalu menolehkan kepala
ke arahnya. Mataku tajam menelisir kesungguhan perkataannya.
“Jangan
bercanda, deh,” kekehan kecil keluar dari mulutku. Tapi kemudian berhenti
ketika tak kudengar sepatah katapun darinya. Biasanya jika ia meledekku ia
pasti akan menambah-nambahkan semua perkataannya.
“Jadi
bener? Trus, kamu mau ikut apa?” tanyaku kemudian. Ia menghabiskan kue
keringnya, lalu meneguk air mineral. Setelah itu ia menyuarakan pendapatnya,
“SPAN. Tapi masih belum yakin sih. Eh, menurutmu kalo aku nanti jadi guru SKI
gimana?”
Lagi-lagi
pernyataannya membuatku terkejut. “Kamu serius? Kamu nggak lagi sakit, kan? Ah,
nggak panas kok,” rancauku setelah menempelkan telapak tangan ke keningnya.
“Ya, Allah. Emang ada yang salah ya sama pilihanku?” ujarnya sambil memutar
bola matanya.
Aku
tertawa. Malu. “Enggak sih. Cuma kok bisa gitu kamu punya pemikiran kesitu.”
Aku membalikkan kepalaku ke arah depan kelas. Tampak sepi, hanya ada beberapa
temanku yang sedang asyik dengan kegiatan mereka masing-masing. “Maksudku, kalo
memang kamu mau ambil jurusan agama bisa aja kamu pilih PAI atau Bahasa Arab
mungkin, jadi penerus Pak Joni, hehehe..”
***
“Mel,
lihat, deh. Ini mahasiswa Indonesia di Korea.” Mendengar kata ‘Korea’ akupun
menghentikan kegiatan membacaku. Padahal sedari tadi banyak temanku yang
mengusik acara membaca novelku, justru hanya satu kata itu yang bisa
mengalihkanku. Kuletakkan novel itu ke sembarang tempat bergegas
menghampirinya.
“Yang
bener, Len? Wah, daebak! (hebat!)
Keren banget tuh.” Seperti ada puluhan berlian di mataku. Dan puluhan kupu-kupu
biston mengitariku. Lalu puluhan pelangi tampak di langit sambil tersenyum
padaku.
“Mahasiswa
ini ambil S2 di sana. Tahu, nggak? Dia lulusan UIN Yogya, lho.” Perkataannya
itu kembali membuatku kagum. “Dapet beasiswa pula. Bener-bener keren, ya? Mau
nggak kayak gitu?” mendengar pertanyaan Leni akupun langsung antusias.
Mengangguk cepat seperti anak kecil yang sedang ditawari es krim. “TOEFL-mu
harus diatas limaratus.”
Limaratus?
Ah, sepertinya mustahil. Ulangan Bahasa Inggris saja seperti itu. Apalagi nilai
UN-ku untuk mata pelajaran itu benar-benar diluar target. Oh, apakah aku harus
mengubur mimpi itu begitu saja?
“Bisa,
Mel. Jangan merengut gitu, dong.”
Kali ini bukan suara Leni. “Semua pasti bisa asalkan kita berusaha. Ingat, kan,
pepatah arab, Man Jadda Wa Jadda? Barang
siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan mendapatkannya.”
“Kamu
sih enak ya, Fa. Udah diterima di Poltekes. Bener-bener seperti impianmu, kan?”
bahuku menurun setelah aku menghela napas. Sorot mataku tiba-tiba kehilangan
cahayanya. Napasku juga seperti diburu rasa takutku.
“Kok,
ngomongnya jadi kesitu?” tanyanya lalu menatap manik mataku tajam. Tatapannya
lalu menjadi lembut. “Nah, kamu tahu sendiri, kan, aku bisa menangkap mimpiku.
Kamu juga tahu sebelum aku dinyatakan diterima disana banyak rintangan yang
harus kuhadapi. Masih ingat, kan, ceritaku beberapa bulan sebelum pengumuman
penerimaanku?” Aku mengangguk. “Banyak yang melihat sebelah mata keseriusanku
untuk masuk ke sana. Tapi lihat? Sekarang aku benar-benar berada dekat dengan
mimpiku. Itu karena aku menyakinkan diriku bahwa segala sesuatu bisa saja
terjadi. Sesuatu yang mustahilpun bisa terjadi jika kita terus berusaha. Ah,
masih ingat cerita tentang James Watt, kan?”
“Iya,
Mel. Yakin deh kamu bisa. Ingat, setelah kelulusan S1 kita ketemu di bandara
Incheon ya?” ujar Leni lalu merengkuh bahuku. Perbincanganpun beralih tentang hal
lain—masih seputar Korea. Tak lama Yuli dan Dina ikut bergbung ke dalam
perbincangan kami. Ikut berbagi tawa.
Setelah
perbincangan ringan itu tak ada yang bisa menduga kejadian yang menunggu di
depan mata. Aku dan Leni diterima SNMPTN, sedangkan Dina benar-benar akan
menjadi mahasiswi jurusan Sejarah dan Peradaban Islam di ibukota. Lain hal
dengan Yuli, setelah satu bulan melahap soal SBMPTN iapun menjadi calon
mahasiswa di sebuah perguruan tinggi yang diimpikannya. Kami semua benar-benar
terpisah oleh jarak. Tapi tak masalah dengan komunikasi yang terus terjalin.
Hingga
waktu itu tiba. Waktu di mana aku benar-benar telah menyelesaikan skripsiku dan
sidangku. Dan hari ini aku akan diwisuda. Akupun di antar oleh bapakku. Ada
rasa haru yang membuncah. Ternyata benar perkataan Dina, mungkin ini sudah
jalanku dan ini berkat ridho bapak juga ridho-Nya. Akupun mendapat gelar
sarjana pertanian. Betapa bahagianya aku. Dan akupun mendengar berita bahagia
lainnya dari para sahabatku. Cairan bening dari sudut matakupun meleleh. Subhanallah,
rencana-Mu memang dasyat.
***
Selamat anda mendapat beasiswa S2 di Seoul
National University. Mataku terbelalak. Mulutku membentuk huruf ‘o’.
Tubuhku lemas. Akupun sujud syukur, benar-benar berterima kasih kepada Sang
Pembuat Rencana Indah. Oh, lagi-lagi airmataku merembes keluar tanpa permisi.
Akupun memberi kabar kepada orangtua yang langsung disambut bahagia dan rasa
syukur. Tak lupa kukabari sahabat-sahabatku. Dan satu hal yang dulu kuanggap
mustahil dan hanya perkataan sang pengukir mimpi, Leni, ya, sahabatku yang
pernah membuat janji akan bertemu di bandara Incheon itu, benar-benar akan
menepati janjinya. Lagi kubersujud. Menangis dalam kebahagiaan yang terus
mendatangiku. Rencana-Mu sungguh indah, ya Rabb.
“Kamu
kok sekarang kurusan ya, Mel.” Aku hanya tertawa mendengarnya.
“Mungkin
efek dari jalan kaki apartemen-kampus,” candaku diakhiri tawa. Tak kubendung
lagi, airmataku membasahi pipiku. Subhanallah, terus kuucapkan tanpa bosan.
Terima kasih ya Allah. Sungguh aku tak tahu lagi bagaimana harus berkata untuk
hadiah terindah dari-Mu. Mempunyai orangtua yang meridhoiku untuk berjalan
menuju kebahagian ini. Para sahabatku yang selalu setia bersamaku dan memberiku
semangat tuk menapaki jalan menuju kebahagiaan ini. Dan tentunya Engkau ya
Rabb, yang telah merencanakan semua hal Maha Dasyat ini. Tak kuasa untuk
membayar ini semua. Aku hanya bisa menjadi hamba-Mu yang masih belajar untuk
terus mencintai-Mu.
END
©Arakida.2014
Tidak ada komentar:
Kaskus
Only
:ilovekaskus
:iloveindonesia
:kiss
:maho
:najis
:nosara
:marah
:berduka
:malu:
:ngakak
:repost:
:repost2:
:sup2:
:cendolbig
:batabig
:recsel
:takut
:ngacir2:
:shakehand2:
:bingung
:cekpm
:cd
:hammer
:peluk
:toast
:hoax:
:cystg
:dp
:selamat
:thumbup
:2thumbup
:angel
:matabelo
:mewek:
:request
:babyboy:
:babyboy1:
:babymaho
:babyboy2:
:babygirl
:sorry
:kr:
:travel
:nohope
:kimpoi
:ngacir:
:ultah
:salahkamar
:rate5
:cool
:bola
by Pakto
:mewek2:
:rate-5
:supermaho
:4L4Y
:hoax2:
:nyimak
:hotrit
:sungkem
:cektkp
:hope
:Pertamax
:thxmomod
:laper
:siul
:2malu:
:ngintip
:hny
:cendolnya
by misterdarvus
:maintenis:
:maintenis2:
:soccer
:devil
:kr2:
:sunny
Posting Komentar
Menghargai karya orang lain akan mendapat pahala, seperti hal nya mengomentari postingan ini. thx ^_^