Senin, 04 Agustus 2014

CERPEN: Dua

Assalamu'alaikum.. Saya hadir lagi nih mau sedikit membagi cerita. Sebenernya pengin publish cerpen yang udah aku sebarin covernya (ketika cinta harus dipendam) tapi mohon maaf, aku blm bisa nyebarin dulu, tunggu something, hehe..Jadi, buat permintaan maafku, aku share aja cerpen ini.sebelumnya, cerpen ini udah aku buat lama, sempet ilang juga di hardisk yang rusak :( Tapi untungnya kesimpan di email. Iya, ini tuh cerpen gagal terbit. Akunya juga sih, ngga milah2 surat kabar apa yang mau aku kirimin cerpen ini. Jadi, salah sasaran deh. Maaf ya, cuma bisa ngeshare cerpen yang yah, masih amburadul, belum aku edit jadi baik, cuma aku benerin di sedikit kalimat yang typo. Dan, judul sebenernya itu 'man jadda wa jada', tapi setelah dibaca berulang kali (sejak ditemukan file ini di email) aku rasa judulnya kurang sreg. Judul barunya juga rasanya asih aneh, buru2 plus paling susah bikin judul, maaf.. #bow
Oiya, temenku, Uswa pernah nanya tentang cerpen2 yang aku publish di fesbuk, aku jawab juga ya di sini, mungkin ada juga yang pernah punya pertanyaan sepertinya. Cerpen2 yang aku publish di fesbuk itu buatanku, dan belum pernah diterbitin. Aku juga belum punya buku, tapi insya Allah bakal punya buku, aamin.... (minta doanya yaaa :)) Terus Muna Arakida itu pen-name-ku.. Oke sekian cuap2ku yang terlampau membosankan dan panjang lebar..Buat yang sudah meluangkan waktu berharganya untuk membaca karya yang masih pemula ini, terima kasih banyak, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan. Begitu juga yang me-like maupun memberikan saran, kritik atau komentarnya di kolom komentar, semoga Allah membalasnya juga dengan kebaikan...
Cusss... Happy and enjoy reading^^ 





DUA
PRESENT


            Sudah sejak menit pertama sprint ia tak kunjung beranjak dari duduknya di atas ranjang. Tubuhnya yang berbalut kaos dipadukan dengan celana tigaperempat terus membungkuk. Seakan seluruh tubuhnya kaku hanya untuk duduk dengan sikap normal seperti biasa. Wajahnya dibiarkan meringkuk bersembunyi dibalik anak-anak rambut hitam legamnya.
            Sama persis dengan si raja kamar, sungguh saking rapinya baju-baju seragam kotor sejak dua hari yang lalu terlihat pasrah di beberapa sudutnya. Keduanya bahkan terlihat seperti pinang dibelah dua. Yang satu penuh pakaian lusuh, sedang yang lain penuh peluh.
            Hanya satu. Kertas. Kertas hasil evaluasi ulangan tengah semester  yang bergetar di tangan kanannya. Indah bukan main. Tinta warna menantang itu dengan angkuhnya memenuhi sebagian kolom nilai.
            Hebat. Seorang siswi tingkat akhir menengah atas itu yang berstatus sebagai siswi jurusan ilmu alam hanya dapat menyelamatkan satu mapel utama jurusannya dari kekangan tinta merah. Alangkah lucunya dia! Nilai Biologinya bisa digambar itik buruk rupa, seperti dirinya. Sedangkan ilmu yang akan membantunya jika mengambil fakultas teknik sipil selepas masa putih abu-abunya nanti hanya sebuah kursi terbalik.
            Bodoh. Bahkan nilai Bahasa Inggris yang nanti bisa membantunya jika berhasil tersaring Sastra Inggris hanya antonim dari angka sembilan. Lantas apa yang bisa diharapkanya dengan nilai doremi itu? Akankah perguruan tinggi ternama mau mengasihaninya dengan nilai itu? Ah, bahkan belum melewati level Ujian Nasional.
            Lantas siapa yang patut disalahkan dengan keadaan mengenaskan itu? Guru kah? Hey, beliaulah yang bersedia mentransfer ilmu bagi bayi ilmu seperti dia, kan? Orangtua kah? Jangan lupakan, mereka yang dengan rela menjadikan kepala sebagai kaki, kaki sebagai kepala. Teman kah? Bahkan dia tak bisa menyalahkan teman yang tak memberikan jawaban saat ulangan dilaksanakan. Mau jadi apa kalau untuk menguji kemampuan diri saja melibatkan sumbangan dari beberapa otak disekitarnya ingin menjadi orang hebat? Yang ada kehidupan tersendat. Ayolah, mau membuat jeruji besi meledak karena sesak?
            Gadis itu kembali terisak. Isakan yang penuh penyesalan. Penyesalan memang selalu datang sebagai epilog tak mau sebagai prolog. Apa yang perlu ditangisi? Toh, semua sudah terjadi. Nasi sudah terlanjur lembek. Taburkan saja kacang kedelai goreng, bawang goreng serta suwiran daging ayam dan pelengkap lainnya, terakhir tuang saja kuah kuningnya. Hanya saja, apakah bisa menjadikannya lezat?
            Seperti potongan film yang semakin membuatnya menyesal. Beberapa malam itu, malam di mana keesokkan harinya seharusnya siap bertempur dengan soal-soal ulangan, disaat beberapa temannya dengan telaten membuka lembar demi lembar buku pelajarannya, ia justru melotot melihat adegan-adegan film dari negeri yang terkenal dengan gajahnya. Pandangan yang seharusnya menyapu kata demi kata, kalimat demi kalimat yang tercetak pada halaman buku hanya berbinar akan paras para pemainnya. Terbius dengan display aktor utama. Lalu dengan tega menghempaskan buntalan kertas itu membuatnya ternganga.
***

            Pilihan selalu ada. Seperti dirinya yang seperti orang linglung ditengah perempatan sebelum menekan mouse dalam sekali hentakan lalu menampilkan nama rumah produksi dari video yang tengah terputar. Pilihan antara belajar materi yang ditemukan  Albert Einstein atau visualisasi yang dibuat rumah produksi itu. Naasnya, dia justru memilih pilihan yang memicu penyesalan akhirnya.
            Seperti slide yang diputar saat presentasi dua minggu yang lalu, dua hari sebelum perjuangan yang mempertaruhkan antara hidup dan mati.  Kilasan peristiwa siang tadi saat kertas yang kini tampak lekukan tak teratur akibat jemarinya yang teramat erat mencengkeram kembali membuatnya menyesal. Lihat saja teman-temannya yang tampak menarik sudut bibirnya ke atas, seakan membuatnya dengan mereka bak langit ketujuh dengan inti bumi.
            Rekahan senyum yang membuat kedua bola matanya memanas. Bukan. Bukan karena ia tak ingin teman-temannya tersenyum lebar, kenapa ia tak ikut serta melukiskan senyum terindahnya?
            Malu. Ya, ia teramat sangat merasa malu. Bagaimana tidak, hanya dia seorang, kecuali seorang temannya yang memang terbiasa dengan posisinya saat ini, yang enggan menyerahkan selembar kertas kepada kedua orangtuanya.
            Sedih. Sedih harus melihat kedua air muka kedua orangtuanya saat bertatapan langsung dengan lembar yang terpampang dua tinta berbeda. Belum menyerahkan saja ia sudah bisa melihat visualisasi dari imajinasinya.
Tegakah ia mengalirkan buliran kekecewaan dari pelupuk mata kedua orang terkasihnya? Tegakah ia memberikan harga yang tak setimpal dengan kucuran keringat dari kedua orang yang dicintanya? Tegakah ia menghempaskan harapan kedua orang yang teramat memberikan luapan kasih dan cinta kepadanya? Setega itukah ia? Lalu bagaimana caranya agar ia bisa mendapatkan tandatangan mereka di lembar kekecewaan itu?
Sepintas, terlintas ide licik yang kini mulai menggerayangi pikirannya. Hatinya yang kini retak hampir berhamburan enggan berkomentar. Bahkan akal sehatnya yang sejak beberapa menit yang lalu normal-normal saja seakan pasien dari bangsal kejiwaan.
Tangan kanan yang sedari tadi mencengkeram kuat laksana cengkeraman elang yang tak mau kehilangan mangsanya meletakkan kertas itu begitu saja di atas ranjang. Setelahnya, kembali bergerak menuju ransel sekolah yang duduk manis di sampingnya. Pikirannya bisa saja seperti si kumal yang kata orang kehilangan akal sehatnya setelah istri tercinta meninggalkan kehidupan fana hingga membuatnya depresi, tapi saraf-saraf dalam tubuhnya masih mengerti kebenaran.
Belum sempat jemarinya menyentuh resleting ransel sudah bergetar seperti si nenek renta beberapa rumah dari rumahnya. Rona wajahnya pucat membeku. Kerongkongannya kering seperti di gurun tanpa mata air maupun terjangan hujan. Membasahi dengan menelan ludah saja rasanya seperti menelan bongkahan batu zaman purbakala.
Masih dengan getaran yang melebihi tanah ketika dibor, ia bergerak membukanya. Tak seperti membuka resleting ketika di sekolah, jalur bergerigi itu justru terasa berat seakan ngadat. Oh, ayolah, runtuknya dalam hati. Kini puluhan, ratusan bahkan ribuan makian memenuhi poros pikirnya begitu saja. Biasanya dalam keadaan normal, kamus makian tak pernah terbit sekatapun.
Setelah berupaya sedemikian rupa, jalur bergerigi itupun pasrah. Membuat pemilik jemari itu menghela napas pertamanya. Dengan perlahan tangan kanannya mengaduk-aduk isinya. Meraba setiap permukaan benda yang terdeteksi indera perabanya. Mengutus impuls untuk mengirim data benda yang dimaksud.
Sepersekian detik benda yang menjadi harapan terakhirnya ditemukan. Layaknya bajak laut yang berhasil membobol peti harta karun di tengah hutan belantara, perasaannya melambung. Kini tangan kirinya berdesakan dengan tangan kanan mengambil sang berlian. Sebuah benda berbahan kain yang berisi pulpen, spidol dan teman-temannya.
 Kali kedua ia harus kembali berjumpa dengan jalur bergerigi. Bedanya, untuk yang ini mudah baginya membuat sang berlian bertekuk lutut. Kemudian, bagai efek film yang terkadang terlalu berlebihan, munculah sinar seiring dengan terbuka lebarnya benda itu. Dari sana tampaklah sebuah benda panjang bertinta hitam yang langsung saja dirampas dari peraduannya.
Sayangnya, saraf-saraf masih bersikeukeuh. Kembali jemari bergetar, bertambah periodenya seiring dengan sudut lancip yang siap menorehkan isinya bergerak mendekati permukaan suci lembaran kertas evaluasinya. Semakin sempit jarak keduanya, semakin cepat pergerakannya.
Sekelebat muncul wajah kedua orangtuanya yang menatapnya tajam. Tatapan yang menghunus matanya ketika beradu pandang. Warna wajah keduanya yang semakin memerah panas. Menggelegarkan kekecewaan yang terbit dari keduanya. Kekecewaan yang berkali lipat.
Tidak! Tidak! Itu tidak boleh terjadi!
Benda panjang bertinta itu kini tergeletak lemas setelah dilempar keras pemiliknya. Jemari-jemarinya kembali bergetar hebat. Lebih hebat dari yang kali terakhirnya. Semangat empat limanya tadi mencari harta karun lenyap berganti langit yang muram. Langit melemparkan petir dengan angkuh.
Napasnya menderu seperti alat bajak butut milik tetangga beberapa rumah dari rumahnya. Kini detakan jantungnya berlarian tak karuan. Hingga lupa akan tujuan utama sang pemiliknya. Yang masih tak diterimanya adalah ia tak menyetujui sikap yang hampir saja akan menjadikannya penyesalan jilid dua, terbukti dengan degupan yang terus membahana, terlalu cepat, tapi ikut merasakan kegelisahan yang dirasakan sang tuan.
Air mata kembali mengguyur kedua pipi tembamnya, seperti beberapa waktu yang lalu. Isakkan kembali menggema di seluruh sudut ruangan tak bercelah. Keningnya berkerut jelas. Persis seperti langit yang cemberut.
***

            Ternyata prediksinya salah. Bukan torehan pulpen yang nantinya akan menjeratnya dalam dunia kepalsuan yang menjadi harapan terakhirnya. Dengan penuh kesungguhan, tanganpun menengadah sama seperti wajahnya yang tak kunjung kering. Membagi kegelisahan dan keluh kesah pada-Nya. Dzat yang nyaris dilupakan keberadaannya karena ditikam penyesalan. Penyesalan yang membuatnya tersungkur hilang asa.
            Man jadda wa jada. Tak mungkin ia akan melupakan apa yang selalu diucapkan. Apakah itu salah, salah karena membuatnya jatuh ke dasar jurang penyesalan? Tidak. Itu benar adanya. Apakah usaha yang dilakukannya dan menghasilkan hasil evaluasi yang merah hitam itu sudah mencapai tahap sungguh-sungguh? Bukankah hasil yang kita terima sebanding dengan usaha serta doa yang menyertasinya.
            Setelah setetes cairan matanya jatuh bebas mengenai kaosnya, dengan keyakinan tinggi ia akan mengambil pilihan yang dirasanya tak akan membuat episode dua dari penyesalannya kali ini. Setiap pilihan yang ditempuh pasti mempunyai dampak, baik dampak positif maupun negatif. Kuatkan hati dan iman serta mendekatkan diri kepada Dzat yang Maha Mengetahui segalanya, pasti akan ada puzzle yang akan terpasang hingga melengkapi seluruh kekosongan daya pikir yang amat terbatas dan lemah.


END


©Muna Arakida

Tidak ada komentar:


Kaskus

Only


:ilovekaskus

:iloveindonesia

:kiss

:maho


:najis

:nosara

:marah


:berduka


:malu:

:ngakak

:repost:

:repost2:


:sup2:

:cendolbig

:batabig

:recsel



:takut

:ngacir2:

:shakehand2:

:bingung


:cekpm

:cd

:hammer

:peluk



:toast

:hoax:

:cystg

:dp


:selamat

:thumbup

:2thumbup

:angel


:matabelo


:mewek:

:request

:babyboy:


:babyboy1:

:babymaho

:babyboy2:

:babygirl


:sorry


:kr:

:travel

:nohope


:kimpoi

:ngacir:

:ultah

:salahkamar


:rate5

:cool


:bola


by Pakto


:mewek2:

:rate-5

:supermaho

:4L4Y


:hoax2:


:nyimak

:hotrit

:sungkem


:cektkp

:hope

:Pertamax

:thxmomod


:laper


:siul

:2malu:

:ngintip


:hny

:cendolnya


by misterdarvus


:maintenis:


:maintenis2:

:soccer

:devil


:kr2:

:sunny

Posting Komentar

Menghargai karya orang lain akan mendapat pahala, seperti hal nya mengomentari postingan ini. thx ^_^

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Blue Fire Pointer