Oiya, temenku, Uswa pernah nanya tentang cerpen2 yang aku publish di fesbuk, aku jawab juga ya di sini, mungkin ada juga yang pernah punya pertanyaan sepertinya. Cerpen2 yang aku publish di fesbuk itu buatanku, dan belum pernah diterbitin. Aku juga belum punya buku, tapi insya Allah bakal punya buku, aamin.... (minta doanya yaaa :)) Terus Muna Arakida itu pen-name-ku.. Oke sekian cuap2ku yang terlampau membosankan dan panjang lebar..Buat yang sudah meluangkan waktu berharganya untuk membaca karya yang masih pemula ini, terima kasih banyak, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan. Begitu juga yang me-like maupun memberikan saran, kritik atau komentarnya di kolom komentar, semoga Allah membalasnya juga dengan kebaikan...
Cusss... Happy and enjoy reading^^
DUA
PRESENT
Sudah sejak menit pertama sprint
ia tak kunjung beranjak dari duduknya di atas ranjang. Tubuhnya yang berbalut
kaos dipadukan dengan celana tigaperempat terus membungkuk. Seakan seluruh
tubuhnya kaku hanya untuk duduk dengan sikap normal seperti biasa. Wajahnya
dibiarkan meringkuk bersembunyi dibalik anak-anak rambut hitam legamnya.
Sama persis dengan si raja kamar,
sungguh saking rapinya baju-baju seragam kotor sejak dua hari yang lalu
terlihat pasrah di beberapa sudutnya. Keduanya bahkan terlihat seperti pinang dibelah
dua. Yang satu penuh pakaian lusuh, sedang yang lain penuh peluh.
Hanya satu. Kertas. Kertas hasil
evaluasi ulangan tengah semester yang
bergetar di tangan kanannya. Indah bukan main. Tinta warna menantang itu dengan
angkuhnya memenuhi sebagian kolom nilai.
Hebat. Seorang siswi tingkat akhir
menengah atas itu yang berstatus sebagai siswi jurusan ilmu alam hanya dapat menyelamatkan
satu mapel utama jurusannya dari kekangan tinta merah. Alangkah lucunya dia!
Nilai Biologinya bisa digambar itik buruk rupa, seperti dirinya. Sedangkan ilmu
yang akan membantunya jika mengambil fakultas teknik sipil selepas masa putih
abu-abunya nanti hanya sebuah kursi terbalik.
Bodoh. Bahkan nilai Bahasa Inggris
yang nanti bisa membantunya jika berhasil tersaring Sastra Inggris hanya
antonim dari angka sembilan. Lantas apa yang bisa diharapkanya dengan nilai doremi itu? Akankah perguruan tinggi
ternama mau mengasihaninya dengan nilai itu? Ah, bahkan belum melewati level
Ujian Nasional.
Lantas siapa yang patut disalahkan
dengan keadaan mengenaskan itu? Guru kah? Hey, beliaulah yang bersedia mentransfer ilmu bagi bayi ilmu seperti
dia, kan? Orangtua kah? Jangan
lupakan, mereka yang dengan rela menjadikan kepala sebagai kaki, kaki sebagai
kepala. Teman kah? Bahkan dia tak bisa menyalahkan teman yang tak memberikan
jawaban saat ulangan dilaksanakan. Mau jadi apa kalau untuk menguji kemampuan
diri saja melibatkan sumbangan dari beberapa otak disekitarnya ingin menjadi
orang hebat? Yang ada kehidupan
tersendat. Ayolah, mau membuat jeruji besi meledak karena sesak?
Gadis itu kembali terisak. Isakan
yang penuh penyesalan. Penyesalan memang selalu datang sebagai epilog tak mau
sebagai prolog. Apa yang perlu ditangisi? Toh,
semua sudah terjadi. Nasi sudah terlanjur lembek. Taburkan saja kacang kedelai
goreng, bawang goreng serta suwiran daging ayam dan pelengkap lainnya, terakhir
tuang saja kuah kuningnya. Hanya saja, apakah bisa menjadikannya lezat?
Seperti potongan film yang semakin
membuatnya menyesal. Beberapa malam itu, malam di mana keesokkan harinya seharusnya
siap bertempur dengan soal-soal ulangan, disaat beberapa temannya dengan
telaten membuka lembar demi lembar buku pelajarannya, ia justru melotot melihat
adegan-adegan film dari negeri yang terkenal dengan gajahnya. Pandangan yang
seharusnya menyapu kata demi kata, kalimat demi kalimat yang tercetak pada
halaman buku hanya berbinar akan paras para pemainnya. Terbius dengan display aktor utama. Lalu dengan tega
menghempaskan buntalan kertas itu membuatnya ternganga.
***
Pilihan selalu ada. Seperti dirinya
yang seperti orang linglung ditengah perempatan sebelum menekan mouse dalam
sekali hentakan lalu menampilkan nama rumah produksi dari video yang tengah
terputar. Pilihan antara belajar materi yang ditemukan Albert Einstein atau visualisasi yang dibuat
rumah produksi itu. Naasnya, dia justru memilih pilihan yang memicu penyesalan
akhirnya.
Seperti slide yang diputar saat presentasi dua minggu yang lalu, dua hari
sebelum perjuangan yang mempertaruhkan antara hidup dan mati. Kilasan peristiwa siang tadi saat kertas yang
kini tampak lekukan tak teratur akibat jemarinya yang teramat erat mencengkeram
kembali membuatnya menyesal. Lihat saja teman-temannya yang tampak menarik
sudut bibirnya ke atas, seakan membuatnya dengan mereka bak langit ketujuh
dengan inti bumi.
Rekahan senyum yang membuat kedua
bola matanya memanas. Bukan. Bukan karena ia tak ingin teman-temannya tersenyum
lebar, kenapa ia tak ikut serta melukiskan senyum terindahnya?
Malu. Ya, ia teramat sangat merasa
malu. Bagaimana tidak, hanya dia seorang, kecuali seorang temannya yang memang
terbiasa dengan posisinya saat ini, yang enggan menyerahkan selembar kertas
kepada kedua orangtuanya.
Sedih. Sedih harus melihat kedua air
muka kedua orangtuanya saat bertatapan langsung dengan lembar yang terpampang
dua tinta berbeda. Belum menyerahkan saja ia sudah bisa melihat visualisasi
dari imajinasinya.
Tegakah
ia mengalirkan buliran kekecewaan dari pelupuk mata kedua orang terkasihnya?
Tegakah ia memberikan harga yang tak setimpal dengan kucuran keringat dari
kedua orang yang dicintanya? Tegakah ia menghempaskan harapan kedua orang yang
teramat memberikan luapan kasih dan cinta kepadanya? Setega itukah ia? Lalu bagaimana caranya agar ia bisa mendapatkan
tandatangan mereka di lembar kekecewaan itu?
Sepintas,
terlintas ide licik yang kini mulai menggerayangi pikirannya. Hatinya yang kini
retak hampir berhamburan enggan berkomentar. Bahkan akal sehatnya yang sejak
beberapa menit yang lalu normal-normal saja seakan pasien dari bangsal kejiwaan.
Tangan
kanan yang sedari tadi mencengkeram kuat laksana cengkeraman elang yang tak mau
kehilangan mangsanya meletakkan kertas itu begitu saja di atas ranjang.
Setelahnya, kembali bergerak menuju ransel sekolah yang duduk manis di
sampingnya. Pikirannya bisa saja seperti si kumal yang kata orang kehilangan
akal sehatnya setelah istri tercinta meninggalkan kehidupan fana hingga
membuatnya depresi, tapi saraf-saraf dalam tubuhnya masih mengerti kebenaran.
Belum
sempat jemarinya menyentuh resleting ransel sudah bergetar seperti si nenek
renta beberapa rumah dari rumahnya. Rona wajahnya pucat membeku.
Kerongkongannya kering seperti di gurun tanpa mata air maupun terjangan hujan. Membasahi
dengan menelan ludah saja rasanya seperti menelan bongkahan batu zaman
purbakala.
Masih
dengan getaran yang melebihi tanah ketika dibor, ia bergerak membukanya. Tak
seperti membuka resleting ketika di sekolah, jalur bergerigi itu justru terasa
berat seakan ngadat. Oh, ayolah, runtuknya dalam hati. Kini
puluhan, ratusan bahkan ribuan makian memenuhi poros pikirnya begitu saja.
Biasanya dalam keadaan normal, kamus makian tak pernah terbit sekatapun.
Setelah
berupaya sedemikian rupa, jalur bergerigi itupun pasrah. Membuat pemilik jemari
itu menghela napas pertamanya. Dengan perlahan tangan kanannya mengaduk-aduk
isinya. Meraba setiap permukaan benda yang terdeteksi indera perabanya.
Mengutus impuls untuk mengirim data
benda yang dimaksud.
Sepersekian
detik benda yang menjadi harapan terakhirnya ditemukan. Layaknya bajak laut
yang berhasil membobol peti harta karun di tengah hutan belantara, perasaannya
melambung. Kini tangan kirinya berdesakan dengan tangan kanan mengambil sang berlian. Sebuah benda berbahan kain yang
berisi pulpen, spidol dan teman-temannya.
Kali kedua ia harus kembali berjumpa dengan
jalur bergerigi. Bedanya, untuk yang ini mudah baginya membuat sang berlian bertekuk lutut. Kemudian, bagai
efek film yang terkadang terlalu berlebihan, munculah sinar seiring dengan
terbuka lebarnya benda itu. Dari sana tampaklah sebuah benda panjang bertinta
hitam yang langsung saja dirampas dari peraduannya.
Sayangnya,
saraf-saraf masih bersikeukeuh. Kembali jemari bergetar, bertambah periodenya
seiring dengan sudut lancip yang siap menorehkan isinya bergerak mendekati
permukaan suci lembaran kertas evaluasinya. Semakin sempit jarak keduanya,
semakin cepat pergerakannya.
Sekelebat
muncul wajah kedua orangtuanya yang menatapnya tajam. Tatapan yang menghunus
matanya ketika beradu pandang. Warna wajah keduanya yang semakin memerah panas.
Menggelegarkan kekecewaan yang terbit dari keduanya. Kekecewaan yang berkali
lipat.
Tidak! Tidak! Itu tidak boleh
terjadi!
Benda
panjang bertinta itu kini tergeletak lemas setelah dilempar keras pemiliknya.
Jemari-jemarinya kembali bergetar hebat. Lebih hebat dari yang kali
terakhirnya. Semangat empat limanya tadi mencari harta karun lenyap berganti
langit yang muram. Langit melemparkan petir dengan angkuh.
Napasnya
menderu seperti alat bajak butut milik tetangga beberapa rumah dari rumahnya.
Kini detakan jantungnya berlarian tak karuan. Hingga lupa akan tujuan utama
sang pemiliknya. Yang masih tak diterimanya adalah ia tak menyetujui sikap yang
hampir saja akan menjadikannya penyesalan jilid dua, terbukti dengan degupan
yang terus membahana, terlalu cepat, tapi ikut merasakan kegelisahan yang
dirasakan sang tuan.
Air
mata kembali mengguyur kedua pipi tembamnya, seperti beberapa waktu yang lalu.
Isakkan kembali menggema di seluruh sudut ruangan tak bercelah. Keningnya
berkerut jelas. Persis seperti langit yang cemberut.
***
Ternyata prediksinya salah. Bukan
torehan pulpen yang nantinya akan menjeratnya dalam dunia kepalsuan yang
menjadi harapan terakhirnya. Dengan penuh kesungguhan, tanganpun menengadah
sama seperti wajahnya yang tak kunjung kering. Membagi kegelisahan dan keluh
kesah pada-Nya. Dzat yang nyaris dilupakan keberadaannya karena ditikam
penyesalan. Penyesalan yang membuatnya tersungkur hilang asa.
Man
jadda wa jada. Tak mungkin ia akan melupakan apa yang selalu
diucapkan. Apakah itu salah, salah karena membuatnya jatuh ke dasar jurang
penyesalan? Tidak. Itu benar adanya. Apakah usaha yang dilakukannya dan
menghasilkan hasil evaluasi yang merah hitam itu sudah mencapai tahap
sungguh-sungguh? Bukankah hasil yang kita terima sebanding dengan usaha serta
doa yang menyertasinya.
Setelah setetes cairan matanya jatuh
bebas mengenai kaosnya, dengan keyakinan tinggi ia akan mengambil pilihan yang
dirasanya tak akan membuat episode dua dari penyesalannya kali ini. Setiap
pilihan yang ditempuh pasti mempunyai dampak, baik dampak positif maupun
negatif. Kuatkan hati dan iman serta mendekatkan diri kepada Dzat yang Maha
Mengetahui segalanya, pasti akan ada puzzle
yang akan terpasang hingga melengkapi seluruh kekosongan daya pikir yang amat
terbatas dan lemah.
END
©Muna Arakida
Tidak ada komentar:
Kaskus
Only
:ilovekaskus
:iloveindonesia
:kiss
:maho
:najis
:nosara
:marah
:berduka
:malu:
:ngakak
:repost:
:repost2:
:sup2:
:cendolbig
:batabig
:recsel
:takut
:ngacir2:
:shakehand2:
:bingung
:cekpm
:cd
:hammer
:peluk
:toast
:hoax:
:cystg
:dp
:selamat
:thumbup
:2thumbup
:angel
:matabelo
:mewek:
:request
:babyboy:
:babyboy1:
:babymaho
:babyboy2:
:babygirl
:sorry
:kr:
:travel
:nohope
:kimpoi
:ngacir:
:ultah
:salahkamar
:rate5
:cool
:bola
by Pakto
:mewek2:
:rate-5
:supermaho
:4L4Y
:hoax2:
:nyimak
:hotrit
:sungkem
:cektkp
:hope
:Pertamax
:thxmomod
:laper
:siul
:2malu:
:ngintip
:hny
:cendolnya
by misterdarvus
:maintenis:
:maintenis2:
:soccer
:devil
:kr2:
:sunny
Posting Komentar
Menghargai karya orang lain akan mendapat pahala, seperti hal nya mengomentari postingan ini. thx ^_^