Senin, 02 Juni 2014

CERPEN: Melukis Pelangi

Alohaaa... Wah, sudah lama sekali nggak ngisi blog ini, sampai karatan, haha.. Akhirnya saya terbebas dari UN alias ujian nasional yang bertaraf internasional. Pengin banget bagi unek-unek tentang ujian yang njlimet itu, tapi udah ketinggalan jaman kalo dibahas sekarang. Mendingan cuss langsung nih aku bagi cerpen yang udah aku publish di note FB. So, jangan bilang kalo ini jiplakan dari note FB itu karena yang punya masih saya, hohoho....
Karena udah lama nggak nulis, pasti banyak banget kekurangannya, jadi tolong berikan saran dan kritik yang membangun melalui form komentar di bawah. NO BASH ok? NO PLAGIARSM, ok? Happy and Enjoy reading ^^






Aku tak tahu,
Dengan apakah aku bisa melukis pelangi…
Disekitarku pekat!
Tiada warna lagi!
Warna itu hilang…
Aku tak dapat melukis lagi..
Akankah warna itu datang lagi?
Atau akan terganti?
Aku sudah buta, tuli dan bisu
karna ku tak dapat menggenggam warna tuk melukis pelangi..

_DA


●○◦◦Melukis Pelangi◦◦○●
PRESENT

Guratan jingga melukiskan cakrawala sangat indah. Beberapa burung kecil kembali ke sarangnya. Sedangkan angin kembali menyapa wajahnya. Di sinilah ia berada, sebuah tempat yang begitu menenangkan. Hanya terdengar gemericik air dari sebuah sungai kecil buatan. Dilengkapi pepohonan yang rindang.
                Sudah satu jam berlalu, namun nampaknya ia enggan untuk beranjak dari posisi duduknya. Bangku taman sepertinya lebih nyaman daripada satu set sofa di ruangannya yang hangat. Pikirannya sudah seperti benang kusut. Yang terbayang hanya tulisan-tulisan itu. Tulisan yang entah kenapa membuat perasaannya tergores dalam. Entahlah, yang ia tahu hanya linangan airmata yang tiba-tiba meluncur bebas melewati pipinya.
                Seumur hidup, ia yakin ini yang pertama. Terbelenggu dalam balutan dilema. Tak menyangka ini semua berawal dari sebuah percakapan singkat dalam akun jejaring sosialnya. Jangan lupakan juga kekagumannya akan latar belakang sosoknya.
                Terlalu hanyut dalam percakapan-percakapan itu membuatnya tak sadar dengan sebuah garis yang tak boleh dilewatinya. Sebuah garis yang akan merubah pemikiran awalnya. Namun kebutaan telah mengoyak segalanya. Kini hanya satu pertanyaan yang ada dibenaknya, berdosakah ia merasakan ini semua?
***

                Pagi ini mengharuskannya untuk cepat bergegas dari ranjangnya yang nyaman. Fajar hampir menjelang. Iapun bersuci sebelum kembali mengadu pada-Nya. Dengan menggelar sajadah birunya ia menjalankan kewajibannya. Dalam doa yang terucap ia memohon kepada Sang Pemilik rasa. Mencoba mencari petujuk tentang apa yang tengah melandanya. Sebagai seorang fakir rasa, hanya itu yang bisa dilakukannya.
                Setelah hampir setengah jam iapun menyudahinya. Melipat mukenah dan sajadahnya lalu mengembalikannya ke tempat semula. Langkahnya menuju sebuah kursi yang berada di sebelah ranjangnya.
                Sebuah benda merah maroon—yang berbaring manis di atas meja belajarnya—itu menggelitik tangannya. Namun jemarinya hanya ia ketuk-ketukkan pada permukaan benda itu, enggan untuk membukanya. Jika saja bisa, ingin rasanya membuang benda itu jauh-jauh demi mengelak keinginannya yang semakin menjadi-jadi. Akhirnya, pikirannya terkalahkan dengan perasaannya sendiri.
                Jari telunjuknya dengan lincah menekan tombol power. Hanya butuh beberapa menit saja tampilan layar sudah menampilkan laman profilnya—jejaring sosial yang semakin membuat perasaannya sekarat. Muncul nama itu. Sebuah nama yang sudah beberapa bulan ini selalu ada dalam ingatannya, seperti candu baginya. Nama yang selalu muncul dalam setiap pemberitahuan akunnya. Bahkan jika ia tak melakukan percakapan, nama itu pasti langsung menjadi urutan pencarian pertama.
                Ia menghela napas berat. Bahkan kali ini namanya menjadi perasan jeruk nipis yang menghujam lukanya. Walaupun ia tak mengetikan nama itu dalam kotak pencarian, nama itu kembali menjadi trending topik di halaman berandanya.
                Tiba-tiba saja dadanya terasa sesak. Seperti ada beban kasat mata yang menghimpitnya. Napasnya mulai tak teratur. Begitu pula pandangannya yang mulai mengabur, terlalu banyak airmata yang mendesak keluar.
                “Mengapa di saat aku ingin melupakan justru semakin menguat?” lirihnya sambil menatap kosong layar laptopnya. Pikirannya kembali kalut. Terlalu banyak pertanyaan yang menuntut. Lagi-lagi hanya bisa memeluk lutut dan menenggelamkan diri dibalik lengannya.
***

                Seseorang yang tengah berada di belahan dunia lainnya terus menggelayuti pikirannya. Bagaimana tidak? Seseorang yang tengah melanjutkan studinya di Kairo sana membuatnya kagum. Sudah lama tempat itu menjadi impiannya. Hanya saja, ia merasa kecil jika harus berhadapan dengan persyaratan untuk mendapatkan beasiswa ke sana. Rasanya jauh, sangat jauh.
                Sebagai gadis yang baru merasakan percikan ilmu agama sepertinya, mendengar kata ‘Kairo’ itu seperti seorang anak kecil yang lugu ketika kali pertama ke bioskop empat dimensi. Senyumannya merekah bak bunga pada tanaman kaktus. Matanya berbinar layaknya kemilau permata tertempa sinar mentari. Oh, indahnya…
                Bukan hanya itu saja, sebagai aktivis dunia maya, sudah banyak website yang dijejalinya. Mbah google juga sudah menjadi sobat karibnya. Seringkali ia membaca catatan-catatan mahasiswa Indonesia di sana. Dengan membacanya saja, ia bisa merasakan bahwa tokoh utamanya adalah dia. Sering juga dalam mimpinya mengunjungi tempat-tempat yang diceritakan dalam blog mahasiswa itu.
                Selain para mahasiswa itu, banyak juga guru besar yang sering ia ikuti kabar beritanya. Namun, tangannya terpacu untuk mengetikan pertanyaan-pertanyaan yang sudah saling berjejalan di ruang pikirnya. Alhasil, bertanyalah ia melalui chat.  Dengan semangat yang menggebu, lebih dari sepuluh baris yang diketiknya.
                Sudah lewat seminggu. Awalnya ia ragu akan mendapatkan balasan. Namun tepat hari kedelapan terdapat pemberitahuan di akunnya. Ya, chatnya dibalas, pertanyaannya dibalas juga tentunya. Hanya saja, masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan ketika membaca balasan yang tidak lebih dari lima baris itu. Oh, ayolah, ia masih fakir ilmu.
                Demi mengobati sedikit kekecewaannya itu, ia mengklik tombol ‘teman’ pada akun sang guru tersebut. Betapa senangnya ia setelah melihat banyak sekali orang-orang hebat di sana. Apalagi ketika melihat sebuah profil yang membuat ribuan kupu-kupu biston keluar dari perutnya, mengitarinya.
                Kairo. Itulah yang tertulis di sana. Hey, ia sudah banyak membaca puluhan atau mungkin ratusan catatan-catatan mahasiswa Kairo asal ibu pertiwi. Tapi, ini berbeda. Sungguh berbeda. Melihat beberapa foto yang selalu berbeda latar belakang itu, membuat kadar kekagumannya meningkat tajam.
                Apalagi status-statusnya yang dipublikasikan melalui akunnya sungguh membuatnya melukiskan senyum lebar. Penuh dengan kata-kata mutiara serta motivasi. Rasanya, dengan membacanya saja membuat pikiran tenang, tenggelam ke dalamnya.
                Suatu waktu muncul pemberitahuan chat dari sosok yang dikaguminya itu. Awalnya ia ragu walau hanya mengetikkan ‘wa’alaikumussalam’. Namun, dengan ringan jemarinya menari-nari di atas keyboard. Diakhiri menekan tombol ‘enter’ disertai helaan napasnya.
                Betapa senangnya ketika sosok itu kembali memulai perbincangan. Walaupun terkadang membuatnya gugup setidaknya kini ia bisa menemukan sosok yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya—yang telah terlalu banyak menggunakan kuota pikirannya. Satu demi satu pertanyaannya terjawabkan. Hatinya juga sudah tidak ‘gemrungsung’ lagi, setidaknya untuk saat ini.
                Lama kelamaan perbincangan mereka semakin panjang. Mulai dari memperdebatkan suatu masalah hingga sosok itu yang meminta nomor ponselnya. Dia berikan saja dengan cuma-cuma. Toh, sosok itu orang baik-baik. Betapa terkejutnya dia, ketika mendapatkan balasan dari sosok itu. Katanya itu hanya sebagai bahan penguji untuknya. Alhasil satu dua hari ia vakum dari aktivitas dunia mayanya. Terlalu malu.
                Seiring berjalannya waktu, ia mulai melupakan sosok itu. Ya, ia menghindar untuk melakukan kontak lagi. Baru saja beberapa minggu tak berdebat dengannya, datang hari itu. Hari di mana dering ponselnya mengisi kamarnya. Dengan sigap ia meraihnya. Namun melihat nomor tak terdaftar di dalam kontaknya membuat keningnya berkerut. Siapakah gerangan?
                “Halo…” suara berat itu terdengar setelah jari telunjuknya menyentuh layar hijau. Siapa? Apakah ini teman ibunya yang menawarinya jasa peminjaman uang seperti beberapa hari yang lalu? Ataukah suara bapaknya yang terlalu tenggelam dalam arus angin yang tak menentu? Tapi bukan, suara bapaknya tak seberat ini dan sangat menenangkan. Karena takut itu adalah orang iseng yang berkedok salah sambung lalu berujung perkenalan semu, dengan cepat ia menyentuh layar merah ponselnya.
                Baru saja sedetik ia meletakkan kembali ponselnya di atas nakas, dering itu kembali menggema. Oh, ayolah, jangan bergurau! Setidaknya jika memang dia mengenalnya kirimkan saja pesan singkat mengenai siapa dia dan tujuannya menghubunginya. Nihil. Tak ada pesan setelah itu, yang ada berulangkali dering ponselnya menggema dalam ruangan tiga kali tiga meter itu.
                “Memangnya siapa sih, kok nggak diangkat?” ibunya masuk ke kamarnya, pintunya memang sengaja terbuka. Dia yang sedang menimang-nimang antara menjawab atau tidak, menoleh, mengendikkan bahunya. “Nggak tahu bu, nggak ada namanya…” Ibunya duduk di ranjang, bersebelahan dengannya. Menepuk-nepuk pundaknya. “… didengar dari suaranya sepertinya laki-laki, Bu. Tapi aku nggak tahu siapa, yang jelas bukan bapak,” lanjutnya.
                Kening wanita paruh baya itu mengerut, persis seperti anaknya. Tangannya menyentuh ponsel gadisnya. Hampir saja ibu jarinya menyentuh layar hijau, gadis itu kembali mencicit, “biarkan saja, Bu. Mungkin orang iseng. Ibu tahu, kan, akhir-akhir ini banyak kasus salah sambung yang berujung penipuan. Seperti bapaknya Melly, untung saja nggak sampai transfer uangnya.” Ibunya mengangguk lalu beranjak keluar kamar. Usaha meyakinkan ibunya berhasil, iapun menghela napas.
                4 missed calls. Tulisan itu tertera pada layar ponselnya. Iapun meletakkan kembali ponselnya di atas nakas kemudian mengambil buku detik-detik Biologinya. Membuka lembar demi lembar dan berhenti pada bab mutasi. Anehnya tulisan-tulisan itu justru seperti meledeknya yang sangat ingin membuka ponselnya, lebih tepatnya pada nomor asing itu. Tidak-tidak, ujian sebentar lagi, tidak ada waktu untuk bermain-main sekarang.
                Tiga menit. Lima menit. Sepuluh menit. Argh, sudah tak sanggup lagi untuk menahannya. Terdengar dering panggilan dari ponselnya, dengan sigap iapun mengambilnya. Keragu-raguan masih menyelimutinya. Dengan mengambil napas panjang ia menutup pintunya lalu menyentuh layar hijau.
                “Halo.. Assalamu’alaikum…” suara itu. Tiba-tiba saja kerja jantungnya menjadi puluhan kali lipat. Napasnya juga tak teratur. Ada apa ini?
                Ia berdeham kecil. “Wa..’alaikumussalam..” lirihnya. Padahal sekuat tenaga sudah dikerahkannya tapi mengapa hanya mengeluarkan suara yang teramat lirih. Apakah dia mendengarnya? Perlukah ia mengulangnya?
                “Akhirnya dijawab juga. Ini Dina, kan?” kata-katanya terdengar ringan. Ia semakin penasaran dengan orang di seberang telepon.
                “I..iya.. Ini siapa?”
***

                Berawal dari hari di mana ia menjawab panggilan telepon dari sosok itu, aktivitas baru itu semakin sering dijalaninya. Jika mereka tak bisa berkomunikasi lewat jejaring sosial, pastilah sosok itu meneleponnya. Atau ia mengirim pesan.
                Berjam-jam mereka lewati dengan mengobrol dengan ponsel. Bahkan melupakan telinganya yang sudah mengeluh kemerahan. Pikirannya juga sudah terlalu larut dengan candunya itu. Melupakan sejenak segalanya.
                Seperti saat ini, pulang sekolah, bahkan seragam putih abu-abunya masih melekat di tubuhnya. Baru saja langkah pertama memasuki kamar, nama itu muncul pada layarnya. Tanpa ragu lagi ia menyentuh layar hijau.
                Bahan obrolan yang tak ada habisnya membuatnya tenggelam dalam perbincangan itu. Hingga suara adzan dari speaker mushola menyadarkannya. Iapun menyudahi pembicaraannya. Senyum tipis terpampang diwajahnya. Rona kemerahan juga jelas melingkupi pipinya.
                Oh, rasanya ia baru saja kembali dari pengembaraan menjelajah atlantis. Indah sangat indah. Terlalu indah untuk diakhiri. Astaghfirullah, batinnya. Iapun bergegas mengambil air wudhu lalu memohon ampun kepadaNya.
                Malam ini, kembali ia melaksanakan aktivitasnya sebagai aktivis jejaring sosial. Seperti biasa nama itu menjadi perburuannya. Sebelumnya ia sudah mematikan dulu obrolannya. Ia tak ingin ada orang yang tahu kalau ia adalah seorang stalker. Cukup dirinya saja yang tahu. Bahkan sahabat-sahabat karibnya juga tak tahu menahu tentang hal ini. Terlalu malu atau bahkan terlalu takut mendengar komentar mereka.
                Tak butuh waktu lama untuk menjelajah timeline-nya. Banyak sekali status-status terbaru yang baru saja dipublikasikan tiga puluh menit yang lalu. Ada juga foto terbaru yang dibagikannya. Wah, indah sekali. Beberapa lelaki tengah mengambil pose dengan menara kembar milik negara tetangga sebagai background-nya.
                Beberapa foto itu membuatnya iri. Bagaimana tidak, berada di luar negeri itu seperti sebuah mimpi di siang bolongnya. Jadi, wajar saja kalau ia menginginkan mimpi itu menjadi kenyataan, setidaknya hanya satu kali.
                Untuk menyinggahi tempat-tempat di nusantara saja belum sempat ia rasakan. Paling jauh adalah  menyinggahi ibu kota, itupun karena tuntutan studytour saat duduk di bangku menengah pertama. Pernah dulu ia ke Semarang bersama dua orang sahabatnya untuk mengikuti kajian akbar, ya, tapi mengingat perjalanannya saja membuat perutnya menjadi tak nyaman.
                Kursor bergerak pada folder foto. Banyak sekali foto yang membuatnya kembali iri. Menyinggahi beberapa negara sepertinya menyenangkan. Apalagi tempat-tempat itu sungguh karya yang sangat luar biasa dariNya. Lagi-lagi ia menghela napas.
***

                Hari ini hari Minggu. Tidak seperti hari Minggu biasa. Dia harus bangun pagi, menyelesaikan pekerjaannya—mencuci baju dan bersih-bersih rumah. Jam setengah delapan nanti ia harus sudah siap pergi ke sebuah tempat lembaga bimbingan belajar untuk mengikuti tryout bersama.
                Tidak butuh waktu lama pekerjaannya selesai. Dia bergegas mandi lalu bersiap-siap. Dengan mengendarai sepeda motor maticnya, ia arungi jalanan pagi yang masih cukup lenggang. Maklum saja kebanyakan orang lebih memilih berjalan kaki atau mengurung diri di dalam selimut.
                Tempat itu sudah cukup ramai. Beberapa orang ada yang dikenalnya. Segera saja ia hampiri mereka yang ternyata teman sekelasnya. Lima belas menit sebelum tryout dilaksanakan, mereka memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan.
Lima belas menit itu berlalu. Tryout pun dimulai. Ada sekitar seratus limapuluh soal yang terdiri dari enam mata pelajaran. Waktu yang disediakan hanya seratus duapuluh menit. Pikirannya berpacu dengan waktu yang semakin mengejar.
Tak terasa waktu yang disediakan telah habis. Lembar jawabpun dikumpulkan. Ponselnya bergetar. Ternyata sosok itu mengirimnya pesan. Iapun membalasnya dengan mencuri-curi perhatian dari teman-temannya. Tak mau jika ada salah satu dari mereka menangkap basah ulahnya.
Setelah mendapat beberapa penjelasan serta promosi dari salah seorang pengajar bimbingan belajar itu, mereka diperbolehkan untuk pulang. Tetapi ia dan beberapa teman serta sahabat-sahabatnya memutuskan untuk menyegarkan pikiran dengan berjalan-jalan di sebuah mall.
Saat mereka menginjakkan kaki di mall itu, ia menunjukkan ponselnya ke salah seorang sahabatnya, Melly. “Ini, orang yang waktu itu aku tunjukkan di facebook.” Hanya disahut dengan nada ‘o’ yang cukup panjang. Lalu Melly tertawa, “tapi kok beda dengan yang ada di facebook. Yang ini…” Belum sempat Melly menyelesaikan perkataannya Dina memotong, “ya aku tahu maksudmu. Yang ini foto terbarunya.” Setelah mengatakan itu ia mengulas senyum tipis.
“Hey, tapi sejak kapan kamu menaruh foto laki-laki di HP? Setahuku nggak pernah tuh.” Pertanyaan itu juga pertama keluar dari mulutnya sendiri untuk dirinya sendiri. Entahlah, Dina tak pernah membayangkan sebelumnya. Nyaris tak pernah. Dina hanya bisa mengendikkan bahunya.
Mereka berpisah. Dina beserta Melly dan Yuli, sahabatnya yang satu lagi, memilih mengisi perut dengan ramen di lantai dua. Sedangkan beberapa temannya lagi memilih mengisi perut di lantai empat. Melly hendak menjadikan sosok itu menjadi topik perbincangan ditengah makan siang, tetapi mengingat perkataan Dina bahwa hanya dialah yang tahu tentang sosok itu, ia memilih untuk menyimpan lagi perkataannya.
***

Gulir waktu berjalan dengan cepat. Ujian Nasionalpun sudah dijalaninya beberapa hari yang lalu. Sekarang pikirannya tidak terlalu terbebani lagi. Hanya saja nama itu masih menjejali ruang pikirnya. Entahlah, semakin ia menarik keluar nama itu dari ruang pikirnya justru semakin erat menempel seperti permen karet dengan kadar rekatan terkuat.
Sudah puluhan, oh tidak, mungkin jutaan kali ia mencoba melupakan, justru semakin menguat dalam ingatannya. Seperti hari ini. Hari di mana ia beserta keempat sahabatnya hangout mencari baju untuk perpisahan nanti. Perasaannya tak tertata, semua sistem dalam tubuhnya seakan mengalami kemacetan.
Sejak pagi tadi, hanya dua suap nasi yang berhasil masuk melewati kerongkongannya. Ibunya sendiri merasa khawatir dengan sikapnya. Ia menyangkal perasaannya dengan mengatakan bahwa ujian lalu menjadi sebab hilangnya nafsu makannya pada sang bunda. Bahkan sahabat-sahabatnyapun tak tahu dengan sikapnya. Hanya Melly yang menangkap sinyal tak biasa dari gelagatnya.
Saat ketiga sahabatnya tengah melihat baju-baju yang dipajang, Melly mendekatinya. “Kamu kenapa? Kelihatannya loyo banget,” bisiknya. Ia menoleh pada Melly, wajah datar jelas terpampang.
“Nggak apa-apa. Cuma lagi enek aja. Lemes tapi nggak bisa makan,” suaranya terdengar putus asa. Langkahnya menjauhi para sahabatnya, memilih tempat yang dirasanya tepat untuk membicarakan permasalahannya. “Kenapa ya, Mel? Kok, aku jadi kayak gini.. Aku dosa nggak ya, Mel? Aku takut.”
Mendengar perkataan Dina, Melly mengerti siapa yang menjadi tokoh dalam perbincangan mereka. “Masih tentang laki-laki itu? Katanya kamu udah nggak ada apa-apa, malah udah lose contact, kan? Sekarang apa yang jadi masalahnya?” Ia mengambil posisi duduk di samping Dina. Dina tampak enggan untuk menjelaskan. “Aku bakal jadi pendengar yang baik kalo kamu mau,” tambah Melly.
Akhirnya iapun menjelaskan semuanya. Semua tentang perihal sebuah pesan yang sangat panjang untuk seseorang itu dalam akunnya. Tak terlewatkan juga tentang seseorang itu yang ternyata sudah mempunyai ‘calon’-nya. Bahkan sosok itu meminta doa agar ia bisa memilih yang terbaik dari dua ‘calon’-nya. Oh, dunianya seakan gelap. Berulang kali ia menyalakan sumbu, tetap saja angin misterius datang mematikannya.
Melly menepuk-nepuk punggungnya. Ia yakin sahabatnya sedang dalam titik keterpurukannya. Helaan napas berat keluar begitu saja. Rasanya ia bisa merasakan rasa sakit itu walaupun tak seluruhnya. Dina tertawa, tertawa yang dipaksakan. Tak sadar sudut matanya sudah didesak buliran airmata yang siap meluncur melewati pipinya.
Setelah memakan waktu yang cukup lama, mereka berlima memutuskan untuk beristirahat sejenak mengingat belum melaksanakan Shalat Ashar. Beruntung keberadaan toko terakhir yang dikunjungi dekat dengan sebuah masjid besar. Melly, Yuli dan Leni segera mengambil air wudhu. Sedangkan Dina dan Sofa—yang sedang tidak sholat—memilih duduk di serambi masjid.
Entah siapa yang memulai, Dina menceritakan kisahnya kepada Sofa. Seperti saat menceritakan kepada Melly, ia tertawa datar bahkan kali ini sebulir airmatanya berhasil lolos dari pelupuk matanya. Sofa menepuk punggungnya, mengelusnya dengan hangat. Ia tersenyum setelah mengembuskan napas beratnya.
Setelah Dina kembali tenang, kini giliran Sofa yang membuka tabir kisahnya. Ternyata mereka sama-sama mempunyai masalah dengan inti yang sama. Dina sendiri terkejut mendengar kisah Sofa. Ia seperti memiliki teman senasib. Perbincangan mereka terhenti ketika Leni membuka suara, “hayo, lagi ngapain nih, nggak bagi-bagi..”
Dina dan Sofapun sudah tak tahan lagi menyembunyikan kisah mereka, toh, nanti juga mereka akan tahu segalanya. Lebih baik sekarang daripada nanti perasaannya semakin terhimpit. Mereka berlima duduk melingkar. Berbagi kisah yang sudah tak bisa disembunyikan lagi. Dan ternyata setelah mereka berdua melepaskan semuanya, perasaan lega menjalari. Praduga mereka tentang komentar negative dari para sahabatnya salah besar. Justru mereka membantu mengangkat beban itu dan membuangnya jauh-jauh.
“Perasaan tertarik antara seorang wanita kepada seorang lelaki itu wajar, justru itu fitrah sebagai manusia. Normal terjadi, daripada suka sesama jenis, iya, kan? Hanya saja kita masih remaja, jadi masih labil menangani perasaan kita. Masih banyak godaan sana-sini. Sekarang kita ambil positifnya aja. Daripada semakin dekat dengan zina lebih baik mencari kegiatan yang bermanfaat. Mending kita tinggalin dulu hal-hal yang dapat ngingetin kita sama ‘mereka’. Apalagi bentar lagi mau kuliah, kan? Kita fokus dulu buat belajar. Mau ikut sbmptn, kan?” Leni mengambil napas panjang setelah rentetan itu keluar dari mulutnya.
Senja kembali menyapa dengan cakrawalanya yang indah. Perasaannya yang semula tak teratur kini sedikit demi sedikit kembali tertata. Bersama angin sore, ia lepaskan semua beban pikirnya. Berharap pelangi kan segera muncul dalam hidupnya. Selamat tinggal ‘sosok itu’…
Kini warna-warna yang dulu memudar kembali menampakkan keindahannya. Walaupun masih mengabur, setidaknya harapan baru itu muncul. Harapan yang akan membawanya menuju gerbang kedewasaan. Menjadi wanita yang bisa menjaga perasaannya. Menjadi hamba yang semakin dekat dengan-Nya.

●○◦◦Melukis Pelangi◦◦○●
END


Bagaimana???? Silakan berikan komentarnya dengan bahasa yang sopan ya....


Written: Muna Arakida
Re-Publish only on My Heart's Content

DO NOT REPOST IN ANOTHER SITE WITHOUT PERMISSON!!!

Tidak ada komentar:


Kaskus

Only


:ilovekaskus

:iloveindonesia

:kiss

:maho


:najis

:nosara

:marah


:berduka


:malu:

:ngakak

:repost:

:repost2:


:sup2:

:cendolbig

:batabig

:recsel



:takut

:ngacir2:

:shakehand2:

:bingung


:cekpm

:cd

:hammer

:peluk



:toast

:hoax:

:cystg

:dp


:selamat

:thumbup

:2thumbup

:angel


:matabelo


:mewek:

:request

:babyboy:


:babyboy1:

:babymaho

:babyboy2:

:babygirl


:sorry


:kr:

:travel

:nohope


:kimpoi

:ngacir:

:ultah

:salahkamar


:rate5

:cool


:bola


by Pakto


:mewek2:

:rate-5

:supermaho

:4L4Y


:hoax2:


:nyimak

:hotrit

:sungkem


:cektkp

:hope

:Pertamax

:thxmomod


:laper


:siul

:2malu:

:ngintip


:hny

:cendolnya


by misterdarvus


:maintenis:


:maintenis2:

:soccer

:devil


:kr2:

:sunny

Posting Komentar

Menghargai karya orang lain akan mendapat pahala, seperti hal nya mengomentari postingan ini. thx ^_^

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Blue Fire Pointer