Karena udah lama nggak nulis, pasti banyak banget kekurangannya, jadi tolong berikan saran dan kritik yang membangun melalui form komentar di bawah. NO BASH ok? NO PLAGIARSM, ok? Happy and Enjoy reading ^^
Aku tak tahu,
Dengan apakah aku bisa melukis pelangi…
Disekitarku pekat!
Tiada warna lagi!
Warna itu hilang…
Aku tak dapat melukis lagi..
Akankah warna itu datang lagi?
Atau akan terganti?
Aku sudah buta, tuli dan bisu
karna ku tak dapat menggenggam warna tuk
melukis pelangi..
_DA
●○◦◦Melukis Pelangi◦◦○●
PRESENT
Guratan
jingga melukiskan cakrawala sangat indah. Beberapa burung kecil kembali ke
sarangnya. Sedangkan angin kembali menyapa wajahnya. Di sinilah ia berada,
sebuah tempat yang begitu menenangkan. Hanya terdengar gemericik air dari
sebuah sungai kecil buatan. Dilengkapi pepohonan yang rindang.
Sudah satu jam berlalu, namun
nampaknya ia enggan untuk beranjak dari posisi duduknya. Bangku taman
sepertinya lebih nyaman daripada satu set sofa di ruangannya yang hangat.
Pikirannya sudah seperti benang kusut. Yang terbayang hanya tulisan-tulisan
itu. Tulisan yang entah kenapa membuat perasaannya tergores dalam. Entahlah,
yang ia tahu hanya linangan airmata yang tiba-tiba meluncur bebas melewati
pipinya.
Seumur hidup, ia yakin ini yang
pertama. Terbelenggu dalam balutan dilema. Tak menyangka ini semua berawal dari
sebuah percakapan singkat dalam akun jejaring sosialnya. Jangan lupakan juga
kekagumannya akan latar belakang sosoknya.
Terlalu hanyut dalam
percakapan-percakapan itu membuatnya tak sadar dengan sebuah garis yang tak
boleh dilewatinya. Sebuah garis yang akan merubah pemikiran awalnya. Namun
kebutaan telah mengoyak segalanya. Kini hanya satu pertanyaan yang ada dibenaknya,
berdosakah ia merasakan ini semua?
***
Pagi ini mengharuskannya untuk
cepat bergegas dari ranjangnya yang nyaman. Fajar hampir menjelang. Iapun
bersuci sebelum kembali mengadu pada-Nya. Dengan menggelar sajadah birunya ia
menjalankan kewajibannya. Dalam doa yang terucap ia memohon kepada Sang Pemilik
rasa. Mencoba mencari petujuk tentang apa yang tengah melandanya. Sebagai
seorang fakir rasa, hanya itu yang bisa dilakukannya.
Setelah hampir setengah jam
iapun menyudahinya. Melipat mukenah dan sajadahnya lalu mengembalikannya ke
tempat semula. Langkahnya menuju sebuah kursi yang berada di sebelah
ranjangnya.
Sebuah benda merah maroon—yang
berbaring manis di atas meja belajarnya—itu menggelitik tangannya. Namun
jemarinya hanya ia ketuk-ketukkan pada permukaan benda itu, enggan untuk
membukanya. Jika saja bisa, ingin rasanya membuang benda itu jauh-jauh demi
mengelak keinginannya yang semakin menjadi-jadi. Akhirnya, pikirannya
terkalahkan dengan perasaannya sendiri.
Jari telunjuknya dengan lincah menekan
tombol power. Hanya butuh beberapa menit saja tampilan layar sudah menampilkan laman
profilnya—jejaring sosial yang semakin membuat perasaannya sekarat. Muncul nama
itu. Sebuah nama yang sudah beberapa bulan ini selalu ada dalam ingatannya,
seperti candu baginya. Nama yang selalu muncul dalam setiap pemberitahuan
akunnya. Bahkan jika ia tak melakukan percakapan, nama itu pasti langsung
menjadi urutan pencarian pertama.
Ia menghela napas berat. Bahkan
kali ini namanya menjadi perasan jeruk nipis yang menghujam lukanya. Walaupun
ia tak mengetikan nama itu dalam kotak pencarian, nama itu kembali menjadi
trending topik di halaman berandanya.
Tiba-tiba saja dadanya terasa
sesak. Seperti ada beban kasat mata yang menghimpitnya. Napasnya mulai tak
teratur. Begitu pula pandangannya yang mulai mengabur, terlalu banyak airmata
yang mendesak keluar.
“Mengapa di saat aku ingin
melupakan justru semakin menguat?” lirihnya sambil menatap kosong layar
laptopnya. Pikirannya kembali kalut. Terlalu banyak pertanyaan yang menuntut.
Lagi-lagi hanya bisa memeluk lutut dan menenggelamkan diri dibalik lengannya.
***
Seseorang yang tengah berada di
belahan dunia lainnya terus menggelayuti pikirannya. Bagaimana tidak? Seseorang
yang tengah melanjutkan studinya di Kairo sana membuatnya kagum. Sudah lama
tempat itu menjadi impiannya. Hanya saja, ia merasa kecil jika harus berhadapan
dengan persyaratan untuk mendapatkan beasiswa ke sana. Rasanya jauh, sangat
jauh.
Sebagai gadis yang baru
merasakan percikan ilmu agama sepertinya, mendengar kata ‘Kairo’ itu seperti
seorang anak kecil yang lugu ketika kali pertama ke bioskop empat dimensi.
Senyumannya merekah bak bunga pada tanaman kaktus. Matanya berbinar layaknya
kemilau permata tertempa sinar mentari. Oh, indahnya…
Bukan hanya itu saja, sebagai
aktivis dunia maya, sudah banyak website yang dijejalinya. Mbah google juga
sudah menjadi sobat karibnya. Seringkali ia membaca catatan-catatan mahasiswa
Indonesia di sana. Dengan membacanya saja, ia bisa merasakan bahwa tokoh
utamanya adalah dia. Sering juga dalam mimpinya mengunjungi tempat-tempat yang
diceritakan dalam blog mahasiswa itu.
Selain para mahasiswa itu,
banyak juga guru besar yang sering ia ikuti kabar beritanya. Namun, tangannya
terpacu untuk mengetikan pertanyaan-pertanyaan yang sudah saling berjejalan di
ruang pikirnya. Alhasil, bertanyalah ia melalui chat. Dengan semangat yang menggebu, lebih dari
sepuluh baris yang diketiknya.
Sudah lewat seminggu. Awalnya ia
ragu akan mendapatkan balasan. Namun tepat hari kedelapan terdapat
pemberitahuan di akunnya. Ya, chatnya dibalas, pertanyaannya dibalas juga
tentunya. Hanya saja, masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan
ketika membaca balasan yang tidak lebih dari lima baris itu. Oh, ayolah, ia
masih fakir ilmu.
Demi mengobati sedikit
kekecewaannya itu, ia mengklik tombol ‘teman’ pada akun sang guru tersebut.
Betapa senangnya ia setelah melihat banyak sekali orang-orang hebat di sana.
Apalagi ketika melihat sebuah profil yang membuat ribuan kupu-kupu biston
keluar dari perutnya, mengitarinya.
Kairo. Itulah yang tertulis di
sana. Hey, ia sudah banyak membaca puluhan atau mungkin ratusan catatan-catatan
mahasiswa Kairo asal ibu pertiwi. Tapi, ini berbeda. Sungguh berbeda. Melihat
beberapa foto yang selalu berbeda latar belakang itu, membuat kadar
kekagumannya meningkat tajam.
Apalagi status-statusnya yang
dipublikasikan melalui akunnya sungguh membuatnya melukiskan senyum lebar.
Penuh dengan kata-kata mutiara serta motivasi. Rasanya, dengan membacanya saja
membuat pikiran tenang, tenggelam ke dalamnya.
Suatu waktu muncul pemberitahuan
chat dari sosok yang dikaguminya itu. Awalnya ia ragu walau hanya mengetikkan
‘wa’alaikumussalam’. Namun, dengan ringan jemarinya menari-nari di atas
keyboard. Diakhiri menekan tombol ‘enter’ disertai helaan napasnya.
Betapa senangnya ketika sosok
itu kembali memulai perbincangan. Walaupun terkadang membuatnya gugup
setidaknya kini ia bisa menemukan sosok yang bisa menjawab
pertanyaan-pertanyaannya—yang telah terlalu banyak menggunakan kuota
pikirannya. Satu demi satu pertanyaannya terjawabkan. Hatinya juga sudah tidak
‘gemrungsung’ lagi, setidaknya untuk saat ini.
Lama kelamaan perbincangan mereka
semakin panjang. Mulai dari memperdebatkan suatu masalah hingga sosok itu yang
meminta nomor ponselnya. Dia berikan saja dengan cuma-cuma. Toh, sosok itu
orang baik-baik. Betapa terkejutnya dia, ketika mendapatkan balasan dari sosok
itu. Katanya itu hanya sebagai bahan penguji untuknya. Alhasil satu dua hari ia
vakum dari aktivitas dunia mayanya. Terlalu malu.
Seiring berjalannya waktu, ia
mulai melupakan sosok itu. Ya, ia menghindar untuk melakukan kontak lagi. Baru
saja beberapa minggu tak berdebat dengannya, datang hari itu. Hari di mana
dering ponselnya mengisi kamarnya. Dengan sigap ia meraihnya. Namun melihat
nomor tak terdaftar di dalam kontaknya membuat keningnya berkerut. Siapakah
gerangan?
“Halo…” suara berat itu
terdengar setelah jari telunjuknya menyentuh layar hijau. Siapa? Apakah ini
teman ibunya yang menawarinya jasa peminjaman uang seperti beberapa hari yang
lalu? Ataukah suara bapaknya yang terlalu tenggelam dalam arus angin yang tak
menentu? Tapi bukan, suara bapaknya tak seberat ini dan sangat menenangkan.
Karena takut itu adalah orang iseng yang berkedok salah sambung lalu berujung
perkenalan semu, dengan cepat ia menyentuh layar merah ponselnya.
Baru saja sedetik ia meletakkan
kembali ponselnya di atas nakas, dering itu kembali menggema. Oh, ayolah,
jangan bergurau! Setidaknya jika memang dia mengenalnya kirimkan saja pesan
singkat mengenai siapa dia dan tujuannya menghubunginya. Nihil. Tak ada pesan
setelah itu, yang ada berulangkali dering ponselnya menggema dalam ruangan tiga
kali tiga meter itu.
“Memangnya siapa sih, kok nggak
diangkat?” ibunya masuk ke kamarnya, pintunya memang sengaja terbuka. Dia yang
sedang menimang-nimang antara menjawab atau tidak, menoleh, mengendikkan
bahunya. “Nggak tahu bu, nggak ada namanya…” Ibunya duduk di ranjang, bersebelahan
dengannya. Menepuk-nepuk pundaknya. “… didengar dari suaranya sepertinya
laki-laki, Bu. Tapi aku nggak tahu siapa, yang jelas bukan bapak,” lanjutnya.
Kening wanita paruh baya itu
mengerut, persis seperti anaknya. Tangannya menyentuh ponsel gadisnya. Hampir
saja ibu jarinya menyentuh layar hijau, gadis itu kembali mencicit, “biarkan
saja, Bu. Mungkin orang iseng. Ibu tahu, kan, akhir-akhir ini banyak kasus
salah sambung yang berujung penipuan. Seperti bapaknya Melly, untung saja nggak
sampai transfer uangnya.” Ibunya mengangguk lalu beranjak keluar kamar. Usaha
meyakinkan ibunya berhasil, iapun menghela napas.
4 missed calls. Tulisan itu
tertera pada layar ponselnya. Iapun meletakkan kembali ponselnya di atas nakas
kemudian mengambil buku detik-detik Biologinya. Membuka lembar demi lembar dan
berhenti pada bab mutasi. Anehnya tulisan-tulisan itu justru seperti meledeknya
yang sangat ingin membuka ponselnya, lebih tepatnya pada nomor asing itu.
Tidak-tidak, ujian sebentar lagi, tidak ada waktu untuk bermain-main sekarang.
Tiga menit. Lima menit. Sepuluh
menit. Argh, sudah tak sanggup lagi untuk menahannya. Terdengar dering panggilan
dari ponselnya, dengan sigap iapun mengambilnya. Keragu-raguan masih
menyelimutinya. Dengan mengambil napas panjang ia menutup pintunya lalu
menyentuh layar hijau.
“Halo.. Assalamu’alaikum…” suara
itu. Tiba-tiba saja kerja jantungnya menjadi puluhan kali lipat. Napasnya juga
tak teratur. Ada apa ini?
Ia berdeham kecil.
“Wa..’alaikumussalam..” lirihnya. Padahal sekuat tenaga sudah dikerahkannya
tapi mengapa hanya mengeluarkan suara yang teramat lirih. Apakah dia
mendengarnya? Perlukah ia mengulangnya?
“Akhirnya dijawab juga. Ini
Dina, kan?” kata-katanya terdengar ringan. Ia semakin penasaran dengan orang di
seberang telepon.
“I..iya.. Ini siapa?”
***
Berawal dari hari di mana ia
menjawab panggilan telepon dari sosok itu, aktivitas baru itu semakin sering
dijalaninya. Jika mereka tak bisa berkomunikasi lewat jejaring sosial, pastilah
sosok itu meneleponnya. Atau ia mengirim pesan.
Berjam-jam mereka lewati dengan
mengobrol dengan ponsel. Bahkan melupakan telinganya yang sudah mengeluh
kemerahan. Pikirannya juga sudah terlalu larut dengan candunya itu. Melupakan
sejenak segalanya.
Seperti saat ini, pulang
sekolah, bahkan seragam putih abu-abunya masih melekat di tubuhnya. Baru saja
langkah pertama memasuki kamar, nama itu muncul pada layarnya. Tanpa ragu lagi
ia menyentuh layar hijau.
Bahan obrolan yang tak ada
habisnya membuatnya tenggelam dalam perbincangan itu. Hingga suara adzan dari
speaker mushola menyadarkannya. Iapun menyudahi pembicaraannya. Senyum tipis
terpampang diwajahnya. Rona kemerahan juga jelas melingkupi pipinya.
Oh, rasanya ia baru saja kembali
dari pengembaraan menjelajah atlantis. Indah sangat indah. Terlalu indah untuk
diakhiri. Astaghfirullah, batinnya. Iapun bergegas mengambil air wudhu lalu
memohon ampun kepadaNya.
Malam ini, kembali ia
melaksanakan aktivitasnya sebagai aktivis jejaring sosial. Seperti biasa nama
itu menjadi perburuannya. Sebelumnya ia sudah mematikan dulu obrolannya. Ia tak
ingin ada orang yang tahu kalau ia adalah seorang stalker. Cukup dirinya saja yang tahu. Bahkan sahabat-sahabat
karibnya juga tak tahu menahu tentang hal ini. Terlalu malu atau bahkan terlalu
takut mendengar komentar mereka.
Tak butuh waktu lama untuk
menjelajah timeline-nya. Banyak
sekali status-status terbaru yang baru saja dipublikasikan tiga puluh menit
yang lalu. Ada juga foto terbaru yang dibagikannya. Wah, indah sekali. Beberapa
lelaki tengah mengambil pose dengan menara kembar milik negara tetangga sebagai
background-nya.
Beberapa foto itu membuatnya
iri. Bagaimana tidak, berada di luar negeri itu seperti sebuah mimpi di siang
bolongnya. Jadi, wajar saja kalau ia menginginkan mimpi itu menjadi kenyataan,
setidaknya hanya satu kali.
Untuk menyinggahi tempat-tempat
di nusantara saja belum sempat ia rasakan. Paling jauh adalah menyinggahi ibu kota, itupun karena tuntutan studytour saat duduk di bangku menengah
pertama. Pernah dulu ia ke Semarang bersama dua orang sahabatnya untuk
mengikuti kajian akbar, ya, tapi mengingat perjalanannya saja membuat perutnya
menjadi tak nyaman.
Kursor bergerak pada folder
foto. Banyak sekali foto yang membuatnya kembali iri. Menyinggahi beberapa
negara sepertinya menyenangkan. Apalagi tempat-tempat itu sungguh karya yang
sangat luar biasa dariNya. Lagi-lagi ia menghela napas.
***
Hari ini hari Minggu. Tidak
seperti hari Minggu biasa. Dia harus bangun pagi, menyelesaikan
pekerjaannya—mencuci baju dan bersih-bersih rumah. Jam setengah delapan nanti
ia harus sudah siap pergi ke sebuah tempat lembaga bimbingan belajar untuk
mengikuti tryout bersama.
Tidak butuh waktu lama
pekerjaannya selesai. Dia bergegas mandi lalu bersiap-siap. Dengan mengendarai
sepeda motor maticnya, ia arungi jalanan pagi yang masih cukup lenggang. Maklum
saja kebanyakan orang lebih memilih berjalan kaki atau mengurung diri di dalam
selimut.
Tempat itu sudah cukup ramai.
Beberapa orang ada yang dikenalnya. Segera saja ia hampiri mereka yang ternyata
teman sekelasnya. Lima belas menit sebelum tryout dilaksanakan, mereka
memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan.
Lima
belas menit itu berlalu. Tryout pun dimulai. Ada sekitar seratus limapuluh soal
yang terdiri dari enam mata pelajaran. Waktu yang disediakan hanya seratus
duapuluh menit. Pikirannya berpacu dengan waktu yang semakin mengejar.
Tak
terasa waktu yang disediakan telah habis. Lembar jawabpun dikumpulkan.
Ponselnya bergetar. Ternyata sosok itu mengirimnya pesan. Iapun membalasnya
dengan mencuri-curi perhatian dari teman-temannya. Tak mau jika ada salah satu
dari mereka menangkap basah ulahnya.
Setelah
mendapat beberapa penjelasan serta promosi dari salah seorang pengajar
bimbingan belajar itu, mereka diperbolehkan untuk pulang. Tetapi ia dan
beberapa teman serta sahabat-sahabatnya memutuskan untuk menyegarkan pikiran
dengan berjalan-jalan di sebuah mall.
Saat
mereka menginjakkan kaki di mall itu, ia menunjukkan ponselnya ke salah seorang
sahabatnya, Melly. “Ini, orang yang waktu itu aku tunjukkan di facebook.” Hanya
disahut dengan nada ‘o’ yang cukup panjang. Lalu Melly tertawa, “tapi kok beda
dengan yang ada di facebook. Yang ini…” Belum sempat Melly menyelesaikan
perkataannya Dina memotong, “ya aku tahu maksudmu. Yang ini foto terbarunya.”
Setelah mengatakan itu ia mengulas senyum tipis.
“Hey,
tapi sejak kapan kamu menaruh foto laki-laki di HP? Setahuku nggak pernah tuh.”
Pertanyaan itu juga pertama keluar dari mulutnya sendiri untuk dirinya sendiri.
Entahlah, Dina tak pernah membayangkan sebelumnya. Nyaris tak pernah. Dina
hanya bisa mengendikkan bahunya.
Mereka
berpisah. Dina beserta Melly dan Yuli, sahabatnya yang satu lagi, memilih
mengisi perut dengan ramen di lantai dua. Sedangkan beberapa temannya lagi
memilih mengisi perut di lantai empat. Melly hendak menjadikan sosok itu
menjadi topik perbincangan ditengah makan siang, tetapi mengingat perkataan
Dina bahwa hanya dialah yang tahu tentang sosok itu, ia memilih untuk menyimpan
lagi perkataannya.
***
Gulir
waktu berjalan dengan cepat. Ujian Nasionalpun sudah dijalaninya beberapa hari
yang lalu. Sekarang pikirannya tidak terlalu terbebani lagi. Hanya saja nama
itu masih menjejali ruang pikirnya. Entahlah, semakin ia menarik keluar nama
itu dari ruang pikirnya justru semakin erat menempel seperti permen karet
dengan kadar rekatan terkuat.
Sudah
puluhan, oh tidak, mungkin jutaan kali ia mencoba melupakan, justru semakin
menguat dalam ingatannya. Seperti hari ini. Hari di mana ia beserta keempat
sahabatnya hangout mencari baju untuk
perpisahan nanti. Perasaannya tak tertata, semua sistem dalam tubuhnya seakan
mengalami kemacetan.
Sejak
pagi tadi, hanya dua suap nasi yang berhasil masuk melewati kerongkongannya.
Ibunya sendiri merasa khawatir dengan sikapnya. Ia menyangkal perasaannya
dengan mengatakan bahwa ujian lalu menjadi sebab hilangnya nafsu makannya pada
sang bunda. Bahkan sahabat-sahabatnyapun tak tahu dengan sikapnya. Hanya Melly
yang menangkap sinyal tak biasa dari gelagatnya.
Saat
ketiga sahabatnya tengah melihat baju-baju yang dipajang, Melly mendekatinya.
“Kamu kenapa? Kelihatannya loyo banget,” bisiknya. Ia menoleh pada Melly, wajah
datar jelas terpampang.
“Nggak
apa-apa. Cuma lagi enek aja. Lemes tapi nggak bisa makan,” suaranya terdengar
putus asa. Langkahnya menjauhi para sahabatnya, memilih tempat yang dirasanya
tepat untuk membicarakan permasalahannya. “Kenapa ya, Mel? Kok, aku jadi kayak
gini.. Aku dosa nggak ya, Mel? Aku takut.”
Mendengar
perkataan Dina, Melly mengerti siapa yang menjadi tokoh dalam perbincangan
mereka. “Masih tentang laki-laki itu? Katanya kamu udah nggak ada apa-apa,
malah udah lose contact, kan? Sekarang apa yang jadi masalahnya?” Ia mengambil
posisi duduk di samping Dina. Dina tampak enggan untuk menjelaskan. “Aku bakal
jadi pendengar yang baik kalo kamu mau,” tambah Melly.
Akhirnya
iapun menjelaskan semuanya. Semua tentang perihal sebuah pesan yang sangat
panjang untuk seseorang itu dalam akunnya. Tak terlewatkan juga tentang
seseorang itu yang ternyata sudah mempunyai ‘calon’-nya. Bahkan sosok itu
meminta doa agar ia bisa memilih yang terbaik dari dua ‘calon’-nya. Oh,
dunianya seakan gelap. Berulang kali ia menyalakan sumbu, tetap saja angin
misterius datang mematikannya.
Melly
menepuk-nepuk punggungnya. Ia yakin sahabatnya sedang dalam titik
keterpurukannya. Helaan napas berat keluar begitu saja. Rasanya ia bisa
merasakan rasa sakit itu walaupun tak seluruhnya. Dina tertawa, tertawa yang
dipaksakan. Tak sadar sudut matanya sudah didesak buliran airmata yang siap
meluncur melewati pipinya.
Setelah
memakan waktu yang cukup lama, mereka berlima memutuskan untuk beristirahat
sejenak mengingat belum melaksanakan Shalat Ashar. Beruntung keberadaan toko
terakhir yang dikunjungi dekat dengan sebuah masjid besar. Melly, Yuli dan Leni
segera mengambil air wudhu. Sedangkan Dina dan Sofa—yang sedang tidak sholat—memilih
duduk di serambi masjid.
Entah
siapa yang memulai, Dina menceritakan kisahnya kepada Sofa. Seperti saat
menceritakan kepada Melly, ia tertawa datar bahkan kali ini sebulir airmatanya
berhasil lolos dari pelupuk matanya. Sofa menepuk punggungnya, mengelusnya
dengan hangat. Ia tersenyum setelah mengembuskan napas beratnya.
Setelah
Dina kembali tenang, kini giliran Sofa yang membuka tabir kisahnya. Ternyata
mereka sama-sama mempunyai masalah dengan inti yang sama. Dina sendiri terkejut
mendengar kisah Sofa. Ia seperti memiliki teman senasib. Perbincangan mereka
terhenti ketika Leni membuka suara, “hayo, lagi ngapain nih, nggak bagi-bagi..”
Dina
dan Sofapun sudah tak tahan lagi menyembunyikan kisah mereka, toh, nanti juga
mereka akan tahu segalanya. Lebih baik sekarang daripada nanti perasaannya
semakin terhimpit. Mereka berlima duduk melingkar. Berbagi kisah yang sudah tak
bisa disembunyikan lagi. Dan ternyata setelah mereka berdua melepaskan
semuanya, perasaan lega menjalari. Praduga mereka tentang komentar negative
dari para sahabatnya salah besar. Justru mereka membantu mengangkat beban itu
dan membuangnya jauh-jauh.
“Perasaan
tertarik antara seorang wanita kepada seorang lelaki itu wajar, justru itu
fitrah sebagai manusia. Normal terjadi, daripada suka sesama jenis, iya, kan? Hanya saja kita masih remaja, jadi
masih labil menangani perasaan kita. Masih banyak godaan sana-sini. Sekarang
kita ambil positifnya aja. Daripada semakin dekat dengan zina lebih baik
mencari kegiatan yang bermanfaat. Mending kita tinggalin dulu hal-hal yang
dapat ngingetin kita sama ‘mereka’. Apalagi bentar lagi mau kuliah, kan? Kita
fokus dulu buat belajar. Mau ikut sbmptn, kan?”
Leni mengambil napas panjang setelah rentetan itu keluar dari mulutnya.
Senja
kembali menyapa dengan cakrawalanya yang indah. Perasaannya yang semula tak
teratur kini sedikit demi sedikit kembali tertata. Bersama angin sore, ia
lepaskan semua beban pikirnya. Berharap pelangi kan segera muncul dalam
hidupnya. Selamat tinggal ‘sosok itu’…
Kini
warna-warna yang dulu memudar kembali menampakkan keindahannya. Walaupun masih
mengabur, setidaknya harapan baru itu muncul. Harapan yang akan membawanya
menuju gerbang kedewasaan. Menjadi wanita yang bisa menjaga perasaannya.
Menjadi hamba yang semakin dekat dengan-Nya.
●○◦◦Melukis Pelangi◦◦○●
END
Bagaimana???? Silakan berikan komentarnya dengan bahasa yang sopan ya....
Written: Muna Arakida
Re-Publish only on My Heart's Content
DO NOT REPOST IN ANOTHER SITE WITHOUT PERMISSON!!!
Tidak ada komentar:
Kaskus
Only
:ilovekaskus
:iloveindonesia
:kiss
:maho
:najis
:nosara
:marah
:berduka
:malu:
:ngakak
:repost:
:repost2:
:sup2:
:cendolbig
:batabig
:recsel
:takut
:ngacir2:
:shakehand2:
:bingung
:cekpm
:cd
:hammer
:peluk
:toast
:hoax:
:cystg
:dp
:selamat
:thumbup
:2thumbup
:angel
:matabelo
:mewek:
:request
:babyboy:
:babyboy1:
:babymaho
:babyboy2:
:babygirl
:sorry
:kr:
:travel
:nohope
:kimpoi
:ngacir:
:ultah
:salahkamar
:rate5
:cool
:bola
by Pakto
:mewek2:
:rate-5
:supermaho
:4L4Y
:hoax2:
:nyimak
:hotrit
:sungkem
:cektkp
:hope
:Pertamax
:thxmomod
:laper
:siul
:2malu:
:ngintip
:hny
:cendolnya
by misterdarvus
:maintenis:
:maintenis2:
:soccer
:devil
:kr2:
:sunny
Posting Komentar
Menghargai karya orang lain akan mendapat pahala, seperti hal nya mengomentari postingan ini. thx ^_^