Selasa, 13 Desember 2011

CERPEN: Cinta dibalik Benci





Bintang telah memunculkan wujudnya, bahkan bulanpun tlah menyapa dalam bisunya malam. Hempasan angin menyisir tubuh yang meringkuk itu. Entah sudah berapa jam dia berdiam diri di sana. Meringkuk ke dalam kaki yang ditekuk. Menyelam pikiran yang jauh entah di mana. Hanya ada isak yang terdengar.

Beberapa waktu lalu ia bertemu dengan seseorang. Mungkin seseorang yang telah lama ia rindukan. Hanya saja dia tak menampakkan wajah kegembiraan. Tubuhnya pun tak bergerak. Kaku seperti di lem oleh bumi. Hanya menundukkan kepala dan bahunya yang naik turun karena menahan tangis. “AKU TAK MEMBUTUHKANMU!!” itu kata yang membuat seseorang itu terhenyak. Tak disangka tubuh yang sedari tadi hanya diam menunduk mengeluarkan kalimat yang begitu mengiris hati.



***

Sinar kuning yang menyilau menggerakkan tubuh yang tlah kaku di tempatnya. Keramaian di jalan yang berada tepat di bawah gedung yang ia duduki semakin membuat mata sembab itu perlahan membukanya. Pagi merekah cerah tak seperti hari kemarin.

Badan jakung itu mulai berusaha untuk berdiri dari tempatnya. Walau sesekali kembali ke posisi semula, ia tetap berusaha mencobanya. Sungguh, sepertinya ia kembali pada kepribadiannya semula. Ia mulai menggerakkan tubuh seperti sedang melakukan peregangan otot yang tlah lama kaku tak berfungsi. Gerakannya pun semakin semangat hingga teriak semangat mengakhirinya.

Lari kecilnya menyusuri jalanan yang kian ramai. Senyumnyapun mulai mengembang. Tatapan aneh disekitarnya tak ia hiraukan. Justru menambah kembang dalam senyumnya. Semangatnya menggebu. Ia memasuki bangunan tiga kali tiga meter di sudut gang. Kain tebal segera ia ambil digantungannya. Ia tuju ruangan yang berisi ember merah besar dan gayung yang mulai berlumut. Kesegaran tampak jelas di raut wajahnya kini.

***

“Ya, kau harus tetap mempertahankan posisimu. Tahan dalam delapan hitungan. Kita kembali ke sesi awal.”
“Pak Jon!!”

Seketika gerakan pemanasan di lapangan berhenti. Anak-anak berseragam olahraga dan sepatu kets beragam itu menghentikan aktivitasnya. Pria paruh baya yang berada di depan anak didiknyapun menoleh ke asal suara.

“Maaf mengganggu, kau dipanggil oleh kepala sekolah sekarang. Dia menunggu di kantornya,” suara itu terengah-engah.

Pria lawan bicaranya hanya mengangguk. Lalu berbicara sebentar pada para anak didiknya yang dijawab dengan anggukan lugu mereka. Sepatu sport yang tampak kumal itu berlari melawan arah angin menuju suatu ruangan. Tampak sekali raut kecemasan di keriput kulit yang termakan usia.

Hanya desahan kecil yang keluar dari bibir coklatnya ketika keluar dari ruangan yang tampak mencekam itu. Keringat dingin mengalir deras melewati pelipisnya. Kedua tangannya menyanggah pada tembok yang catnya mengelupas. Langkah lemah bergerak menuju lapangan yang tampak terik.

***

Siul riang itu terdengar dari dalam gang. Perempuan yang tadi malam tak bersuara justru tlah bersiul seramai itu. Dua keranjang penuh dengan roti tergenggam erat dikedua tangannya. Sesekali ia menghentikan langkahnya untuk beristirahat sejenak. Kembali ia angkat kedua keranjang itu. Hingga tak ia sadari suara decitan rem di depan tubuhnya.

“Maaf, maafkan aku” kata perempuan itu sambil membungkukkan badannya.

Dia tak berani menatap seorang pria yang berada di motor Ninja, itu nama yang terpampang dibadan motor bercat hitam mengkilap. Ketakutannya tiba-tiba menghilang ketika mendengarkan suara yang menjawabnya.

“Tidak, aku yang seharusnya meminta maaf. Barang bawaanmu berjatuhan karena kecerobohanku. Biar aku bantu.”

Kedua pasang mata itupun bertemu. Tapi perempuan itu langsung mengarahkan pandangannya pada roti pesanan pelanggannya. Ada tangan lain di sana yang membantunya mengumpulkan roti pada keranjang biru tua itu. Satu, dua keranjang itu kini tlah terpenuhi kembali. Walau tak serapi tadi.

“Maaf, apa aku harus menggantinya dengan uang??” Tanya suara berat itu.
“Tidak.” Jawab si perempuan dengan cepat.
“Mmm, kalau begitu biar aku beli satu keranjang rotimu, boleh?” Tanya pria itu lagi.

Sejenak perempuan itu berpikir. Lalu senyuman mengakhiri dengan anggukan mantapnya. Seperti rangkaian jual beli seperti biasa. Tapi, si pria langsung membuka satu plastik roti dan memakannya. Ada pancaran cerah di wajah pria itu, lalu senyumnya mengembang.

“Hmm... Ini enak sekali. Aku belum pernah memakan roti selezat ini. Boleh aku tau di mana rumahmu? Mungkin jika aku ingin memesan roti aku bisa memesan kepadamu.”

Ia terdiam sesaat. Namun akhirnya telunjuknya mengarah ke sebuah rumah yang tak jauh dari tempatnya berada.

“Itu. Yang bercat hijau tua. Jika kau ingin memesannya boleh datang saat jam delapan pagi atau empat sore. Saat itu aku di rumah. Terima kasih sebelumnya. Tapi, sepertinya aku harus bergegas ke suatu tempat. Permisi.”

***

Joni, pria berambut putih itu tengah merenung di bangku panjang. Tak ia pungkiri ternyata rekan kerjanya berani menghancurkan hidupnya. Rekan kerja yang tlah lama ia kenal sejak sepuluh tahun silam berani menikamnya dari dalam. Entah apa motif dari kelakuan picik itu. Yang hanya ia pikirkan, bagaimana kehidupannya bersama keluarga kecilnya harus bergantung?? Memang, dia masih punya adik laki-laki yang bekerja sebagai tukang mi ayam. Tapi, apa cukup untuk membiayai hidup empat orang. Dia hanya menumpang di rumah adiknya bersama ipar dan keponakannya. Apa ia setega itu?

Matanya kini tertuju pada jam tangan pemberian putrinya. Tatapanya sedih kembali. Tapi, ia bangkit dan memutuskan kembali ke tempat kerjanya, bukan tapi mantan tempat kerjanya.

“Bu, aku pengin roti itu. Belikan aku satu” rengekan itu membuyarkan lamunan Jon. Matanya tertuju pada seorang gadis yang ditunjuk anak kecil tadi. Ia ingin mendekat. Tapi ia memutuskan untuk melihatnya dari balik pohon.

Kaos oblong biru dengan celana tigaperempat melekat pada kulit gelapnya. Ketara sekali, warna kulit itu terbakar panas si raja siang. Senyumnya lembut pada para pembelinya. Ramah sekali kelihatannya. Namun, orang yang sangat Jon rindukan, tak bisa ia temui sekarang. Masih ada waktu tuk membuktikan kepadanya bahwa aku sangat menyayanginya, tegar Jon dalam benak.

***

“Kamu datang tepat waktu, Din” sapa Kian pada perempuan jakung yang ia kenal minggu lalu.
“Iya, Bos Ki. Hehe..” yang disapa hanya tersenyum manis.

Andini, sebut saja Dini. Kini ia menjadi pekerja di toko roti milik Kian. Beruntung insiden decitan rem itu membuahkan satu atau bahkan lebih kebahagiaan untuknya. Yah, dia kini menjadi juru masak atau koki di toko Rainbow itu. Juga mendapatkan seorang teman yang kini tlah akrab dengannya. Sapaan Bos Ki, tlah berpuluh-puluh atau ratusan kali terucap dari bibir mungilnya.

“Hari ini banyak sekali pelanggan yang memesan roti. Tapi sebelumnya, tugas yang kemarin aku berikan sudah kamu kerjakan?”
“Oh, yang membuat resep baru itu? Sedikit lagi selesai. Hanya tinggal butuh komentar beberapa orang saja. Hehehe” jawabnya sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal.
“Ok, nanti kita bicarakan lagi. Sekarang lakukan pekerjaanmu dengan baik. Mengerti?” kata Kian menggurui.

Hanya anggukan saja yang Dini berikan selanjutnya kabur sesegera mungkin ke dapur sebelum jembatan suramadu sampai di kicauan laki-laki itu. Dan jawaban Kian atas tingkah Dian, hanya gelengan dan dercakan kecil yang diakhiri kecucut dibibirnya.

***

“Selamat atas pekerjaan barumu ya, Mas. Maaf selama ini kamu hanya bisa membantuku berjualan.”
“Tidak, Man. Mas mu ini yang seharusnya minta maaf. Selalu saja merepotkanmu dan keluargamu.”

Pelukan hangat mengakhiri perdebatan saying mereka. Hanya pelukan, tapi itu membuat semangat Jon semakin menggebu. Kabar gembira melesat tadi pagi. Sebagai pengantar sebuah toko di persimpangan jalan yang tak jauh dari taman kota. Kini rezekinya akan kembali mengalir. Walau tak lagi menjadi guru honorer, tapi ia sangat bersyukur. Kerja kerasnya selama ini mencari pekerjaan membuahkan hasil.

Segera motor bebeknya meluncur ke tempat tujuan. Tak perlu waktu setengah jam, ia sudah sampai di halaman parkir toko. Gedung dengan warna yang ramai serta pekarangan yang luas dengan tanaman hias menuntun ke pintu masuk. Senyum terlukis jelas di wajah yang lelah ini. Langkah mantapnya menuju gedung itu.

Tampak orang lalu-lalang di dalamnya. Ada yang sedang memilih pesanannya, membayar di kasir atau yang hanya sedang menyruput coklat panas dan kue di temppatnya. Seperti gabungan café dan toko. Pantas saja pekarangannya indah, itu semua hanya untuk memuaskan pelanggan toko itu.

“Permisi, Mba. Saya kesini karena panggilan kerja.”
“Oh, sebentar, Pak. Saya panggilkan dulu bos saya. Silakan duduk.”

Ramah sekali, benaknya. Selang lima menit yang ditunggu datang juga. Ia segera memberikan seragam dan segala keperluan pekerja barunya itu. Secarik kertas diberikannya pada Jon sambil member instruksi.

Jon, gembira. Ini hari pertamanya kerja. Namun, karena terlalu bahagianya, ia menabrak seorang pekerja juga yang tengah membawa nampan. Untung saja nampan itu kosong. Kalau tidak pasti pelanggan yang duduk tak jauh dari merekan akan melampiaskan kemarahan dihari bahagia Jon.

***
Pelanggan pertama Jon memberikan senyuman puas setelah ia memberikan empat box berukuran sedang. Dia juga diberi tips karena mengantarkan tepat waktu. Sudah ia tolak sebelumnya, namun pelanggan itu memaksa. Kau pasti pekerja baru, sudah terima saja, kata pelanggan itu tadi.

Tak terasa sudah enam rumah yang ia datangi. Kini tugas secarik kertas itu telah selesai. Kembalilah ia ke tempat kerja. Jalannya agak sedikit tergesa-gesa namun ia akhiri setelah menemukan toile dalam gedung itu. Dirasa sudah, ia keluar namun. Brukk...

“Maaf.” Tangannya bekerja cepat mengambil barang-barang yang jatuh.
“Tidak apa-apa.....”
“Dini??”

Lari kecil gadis berseragam kuning itu melesat sebelum percakapan diakhiri. Namun ia tahu tak seharusnya ia bertemu dengan pria yang sebenarnya ia rindukan namun belum ia maafkan. Kenangan buruk kembali lagi.

“Bapak... Ibu... Tolong kalian pikirkan matang-matang keputusan ini. Aku tak bisa terima semua ini. Seperti apa nantinya aku setelah kalian berpisah. Keterpurukanlah yang ada. Kumohon. Ibu bicaralah.. Jangan hanya diam! Bapak, katakana pada Ibu bahwa ini tidak harus dilakukan! Berpikir sehatlah! Bapak!!! Ibu!!!!”

Dini terus berlari sampai tak menyadari air mata meluncur deras di kedua pipinya. Dia bingung tak tentu arah kemana larinya kini. Lari dari kenyataan yang seharusnya sudah ia lupakan lima tahun silam. Dadanya terasa sesak. Sesak sekali hingga tak sanggup menahannya. Rasanya teriakan akan membantu meringankan bebannya. Namun itu mungkin dilakukan jika pasangan-pasangan mata membuntutinya. Tempat ini pun tak member izin untuknya berteriak sepertinya.

***

“Kemana saja kamu, Din. Selama jam kerja malah menghilang tanpa jejak. Tadi kata Wina kamu lari keluar. Memangnya ada apa sampai-sampai lari tak pulang hingga jam kerja berakhir. Din, kamu dengar aku tidak sih?” cerocos Kian melihat kedatangan Dini dari pintu masuk ruang loker.
“Maaf Bos Ki” hanya tiga kata yang dikeluarkan dalam tundukan kepalanya.

Ia tahu bagaimana kacaunya dapur dengan ketidakadaannya. Bagaimana ricuhnya para pekerja tanpa alih kendalinya. Bagaimana pula kekecewaan pelanggan setianya harus menunggu pesanannya lebih lama. Dan bagaimana stresnya seorang bos dengan kekacauan itu.

“Hey! Jangan menunduk terus. Aku sedang memberi tahu keadaan yang terjadi saat kau lenyap tanpa jejak tadi. Hey, kenapa matamu?”

***

Apa yang harus kuperbuat. Ini semua salahku, batin Jon resah. Ia hanya mondar mandir seperti setrika. Berjalan dari sudut satu kesudut lainnya lalu kembali kesudut semula dan seterusnya. Kedua tangannya saling mengeratkan seperti sedang menunggu kepastian.

“Haruskah aku kembali ke sana dan memastikan keadaannya sekarang? Tidak, tidak. Jika ia melihatku lagi pasti akan lari lagi. Aku tidak mau itu terjadi.”
“Lari apa sih mas?” suara itu datang dari pintu yang menghubungkan ruang depan dan tengah, lalu si punya suara segera duduk di sofa dengan dua gelas teh hangat dan beberapa pisang goreng.
“Ah, tidak. Wah, pisang goring, pas sekali waktunya.”

***

Dua sosok tengah duduk di bawah sinah rembulan. Dengan ditemani sinar lampu taman kian menambah suasana nyaman malam itu. Sosok satu memegang tisu dan yang satu memangku box tisu. Ya, itu si pekerja dengan bosnya. Sesegukan masih menyelimuti sosok tegar itu. Walau ia mencoba untuk tetap tersenyum di depan bosnya. Namun tampak sekali kesedihan yang mendalam.

“Sudahlah, jangan dipikirkan lagi. Mana semangatmu sebagai Koki Di-ku selama ini?”
“Koki Di??” yang diberi semangat heran.
“Oh, hehehe. Aku hanya ingin membuat suatu panggilan untukmu. Dan kurasa Koki Di cocok untukmu. Jadi, aku Bos Ki dan kamu Koki Di. Hahahaha... Bagaimana?? Bagus kan??” tawanya meledak namun segera ia akhiri ketika melihat bibir kerucut pekerjanya itu.
“Oh, maaf. Kamu tidak suka ya?” suaranya merendah, tak seceria tadi.

Sesaat bibir kerucut itu kembali pada bentuk semula dan kini membukanya lebar-lebar. Tawanya meledak keras sekali. Lebih keras dari tawa bosnya sebelumnya.

***

Semangat Jon tak sebanyak kemarin. Tampaknya ia gelisah. Ragu-ragu ia naiki motor bebek yang telah lama setia dengannya. Lajunya pun ia lambati. Takut kalau harus sampai cepat ke tempat kerjanya. Takut jika nanti akan terjadi kejadian yang membuatnya susah tidur semalam.

Suasana dalam gedung itu masih tampak seperti biasa. Ramai oleh pengunjung. Dilihatnya Bos yang telah lama menunggu. Secarik kertas lagi yang ia terima. Namun barang yang harus ia antar lebih banyak dari yang dibawanya kemarin.

***

“Sudah sebulan tak terasa aku bekerja di sini. Rasanya baru kemarin kau hamper saja menabrakku.”
“Iya, tak terasa ya. Oh, ya bagaimana kalau mala mini aku mengajakmu ke rumahku? Katanya kamu ingin bertemu dengan Catty dan Clorry?”
“Benarkah? Hm, aku juga tak sabar bertemu dengan si kucing manis itu. Hehehe...”

Percakapan itu mengakhiri jam istirahat siang mereka. Selanjutnya mereka harus sia-siap bertempur kembali dengan pekerjaan masing-masing. Oven dan adonan tlah melambai ke arah Dini yang datang sambil memasang topi kebanggaannya.

Sedangkan Kian kembali mengatur pekerjaanya yang menantinya. Sedangkan Jon kembali mengantarkan pesanan dalam secarik kertas. Kini tak ada kecanggungan antara Jon dengan Dini lagi. Walaupun mereka hanya diam saat bertemu. Tak ada sapaan atau senyum. Seperti belum pernah bertemu kesannya.

***

Bangunan klasik dengan taman serta air mancur kecil menyapa di muka. Baru-batu kecil membentuk jalan setapak dengan tumbuhan kecil mengiringinya. Tanaman hias yang sepertinya mahal tampak memukau di setiap sudut. Pohon palem tak lebih daridua meter berada di sudut dekat pagar. Rumput yang terawat melengkapi sisa pemandangan indah itu. Lampu taman menambah kelengkapannya.

“Waw, Indah sekali.” Tak disadari mulutnya terbuka lebar mengagumi taman itu.
“Iya, memang indah kuasa Tuhan.” Yang menjawab tersenyum lebar.

Derap langkah mereka melangkah memasuki ruangan yang tak kalah memukaunya. Tampak mewah dari dalam. Tapi tetap nuansa klasik terasa. Dini duduk manis di sofa setelah dipersilakan. Kian tampak mengambil dua gelas lemon jus dari arah dalam dan juga cemilan dalam beberapa toples.

“Jadi merepotkan bos ku nih.”
“Ssst... Tidak ada peran bos di sini. Hanya ada teman dan sahabat.”

Tiba-tiba dua makhluk lucu muncul dari belakang Kian. Yang satu berbulu lebat berwarna coklat dan kalung tersematdi lehernya bertuliskan “Catty”. Dan bulu lebat putih itu milik Clorry, tentunya.

“Sini, sayang. Uh.. Lucunya. Menggemaskan sekali sih.”

Setelah bersayang ria, mereka putuskan untuk makan malam. Melewati beberapa ruangan yang lagi-lagi memukau sampailah di depan meja oval dengan makanan lezat penuh di atasnya. Ada Kepiting bakar pedas, potongan salmon segar, dan makanan seefood lainnya. Mata Dini jelas terkagum. Bagaimana tidak? Selama ini dia belum pernah menikmati makanan selengkap dan selezat ini.

Sesi makan malam telah selesai. Rencana Kian sebelumnya ingin menonton film berdua di rumahnya, tapi malam menunjukan pukul sepuluh yang menandakan jam malam bagi Dini untuk kembali. Tampak sekali raut kecewa di wajah oval Kian, namun ia tutupi dengan senyumnya.

Mereka melewati jalan yang mereka tempuh tadi menuju ruang tamu. Obrolan mereka berhenti ketika Dini mematung memandangi sebuah foto. Di dalamnya Ada seorang laki-laki dan dua orang perempuan.

Jantung Dini terpacu kuat. Terasa sekali rasa tak percaya menjalar dibenaknya. Rasa penasaranpun muncul hingga mengeluarkan sebuah kalimat.

“Itu siapa, Kian? Menunjuk sesosok wanita dengan senyum teduhnya.
“Itu ibuku.”

***
Pagi merekah seindah kemarin. Sepertinya akan cerah hingga sore nanti. Beruntunglah tak hujan seperti dua hari sebelumnya. Dini bisa lega menunggu angkutan umum menuju ke tempat kerjanya. Namun sebenarnya dia menyimpan banyak pertanyaan dalam hati.

Pertanyaan yang tak mungkin ia tanyai semenjak kejadian malam itu. Apakah benar itu sosok wanita yang sangat ia cintai dan dirindukan?? Atau hanya mirip sekilas saja?? Entahlah, kini dia belum menemukan jawaban yang tepat. Ingin sekali rasanya ia tanyakan. Namun kekhawatiran selalu melandanya.

“Kau mau bertanya tentang apa?”
“Mm, maaf sebelumnya. Tapi, sepertinya aku tak melihat ibumu ketika aku berkunjung ke rumahmu.”
“Oh...” Sejenak ia berfikir lalu, “... Nanti akan aku ajak kamu menemuinya. Pasti dia sangat senang.”

***

Setelah percakapan tadi pagi, siang ini Kian benar-benar akan membawa Dini bertemu dengan ibunya. Di perjalanan, Kian menceritakan masa-masa indahnya bersama sosok ibu itu. Namun yang membuat Dini berpikir ganjal adalah kalimat Kian yang menyatakan bahwa dia mengalami masa indahnya lima tahun silam selama satu bulan.

Tempat itu begitu sepi. Muram sepertinya. Pohon-pohon tua menyebar di sana. Kamboja berserakan di jalan setapak yang mereka susuri. Kian menjadi pemandu ke tempat ibunya berada. Ya, batu nisan bertuliskan Rina Mulia Sari jelas dibaca. Mata Dini membelalak ketika sampai di pusara itu.

***

Dini masih memikirkan kejadian yang membuat matanya terlukis mata panda. Dan pertemuan antara anak dan ayah yang sudah lama saling merindukan terjadi. Hari ini, memang hari libur kerjanya. Tapi ia tak melakukan aktifitas hari liburnya seperti biasa. Justru ia mendatangi sebuah rumah. Dan tampak Jon yang tengah mengelap motor bebeknya menghentikan aktivitasnya.

Ia tersenyum. Ingin sekali ia memeluk anak semata wayangnya yang sangat, sangat ia rindukan. Dini melangkah pelan menatap dalam mata yang kini telah berubah. Matanya pun terasa panas hingga tak menyadari buliran hangat melintasi pipinya,

“Maafkan aku” kata yang terucap saat memeluk bapak tercintanya,
“Bapak yang minta maaf, nak” mengusap lemut rambut panjang itu.

Tampak raut wajah yang gembira dan lega dari keduanya. Inilah perjuangan yang akhirnya mereka lewati. Namun, Dini menceritakan suatu hal yang membuat Jon terkejut. Bergegaslah mereka ke tempat peristirahatan sosok wanita yang mereka cintai, ibu sekaligus istri.

Perlahan namun pasti. Langkah mantap mereka menyusuri jalan yang beberapa hari lalu juga dilalui Dini dengan seorang pria, tapi berbeda. Ketegaran, itulah yang dilakukan Jon. Melihat pusara istrinya, bukan, tapi mantan istrinya yang hingga kini masih ia cintai.

Dia jadi mengingat masa di mana pertama kalinya perjuangan ini berawal. Saat itu istrinya menatap tajam matanya. Meminta cerai karena alas an tak jelas dan memutar-mutar. Ternyata, ia menutupi semua penyakitnya sendiri dengan sebuah kata cerai. Ini membuat hati Jon sesak. Bagaimana bisa sesosok wanita lembut berjuang sendiri dengan penyakitnya. Rela berpisah dengan anak gadisnya dan suami yang dicintai. Dan menghilang seperti tertelan bumi. Itu semua demi membuat keluarganya tak sedih dengan kepergiannya yang menyakitkan untuk orang yang mengetahuinya.

Dini jelas masih ingat percakapannya dengan Kian saat di pusara ibunya. “Aku bertemu dengannya ketika aku tengah dilanda masalah terberat dihidupku. Saat aku melihatnya, aku merasa tenang. Dia menjadi temanku saat aku dirawat di rumah sakit. Hingga saatnya aku harus pulang, aku tak tega meninggalkannya sendirian di tempat yang juga sangat kubenci menunggu detik-detik terakhirnya. Nenekku mengijinkan kami tinggal bersama. Dan saat itu aku menghiasi hari-hari terakhirnya bersamanya. Hingga saat dia memintaku untuk membeli roti di tempat yang jauh, firasatku mulai tak enak. Ternyata dia tak mau orang lain juga merasakan sakitnya yang ia rasakan. Aku terkejut melihat banyak darah keluar dari mulutnya. Tapi, dia masih sanggup melukiskan senyum terakhirnya dan meminta maaf berulang-ulang walau sepertinya sakit melambatkan kata-katanya.”

Tidak ada komentar:


Kaskus

Only


:ilovekaskus

:iloveindonesia

:kiss

:maho


:najis

:nosara

:marah


:berduka


:malu:

:ngakak

:repost:

:repost2:


:sup2:

:cendolbig

:batabig

:recsel



:takut

:ngacir2:

:shakehand2:

:bingung


:cekpm

:cd

:hammer

:peluk



:toast

:hoax:

:cystg

:dp


:selamat

:thumbup

:2thumbup

:angel


:matabelo


:mewek:

:request

:babyboy:


:babyboy1:

:babymaho

:babyboy2:

:babygirl


:sorry


:kr:

:travel

:nohope


:kimpoi

:ngacir:

:ultah

:salahkamar


:rate5

:cool


:bola


by Pakto


:mewek2:

:rate-5

:supermaho

:4L4Y


:hoax2:


:nyimak

:hotrit

:sungkem


:cektkp

:hope

:Pertamax

:thxmomod


:laper


:siul

:2malu:

:ngintip


:hny

:cendolnya


by misterdarvus


:maintenis:


:maintenis2:

:soccer

:devil


:kr2:

:sunny

Posting Komentar

Menghargai karya orang lain akan mendapat pahala, seperti hal nya mengomentari postingan ini. thx ^_^

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Blue Fire Pointer